MAKALAH PENDEKATAN KESEHATAN MENTAL


A. Pendekatan Berdasarkan Penyusunan Program.


Dalam penyusunan program kesehatan mental terdapat tiga pendekatan yang dapat digunakan, yaitu pendekatan risiko, multisektoral, dan system.


a. Pendekatan risiko
Program kesehatan mental dapat berupa suatu strategi yang disebut pendekatan risiko. Strategi ini fleksibel dengan menggunakan sarana-sarana yang tersedia untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan tingkat risiko serta prioritas dalam masyarakat. Pendekatan ini merupakan strategi intervensi aktif berdasarkan pada data yang sahih mengenai biaya, dan efektifitas dari tenaga yang ada di beraneka tempat.


Pengukuran individu atau masyarakat dalam risiko diperlukan agar dapat digunakan dalam membuat formulasi objektif dan untuk alokasi dana dan penyebarannya.
Langkah-langkah yang harus dilaksanakan dalam penyusunan program, yaitu:
1. Menyeleksi indikator-indikator untuk mengidentifikasi individu dann masyarakat yang ada dalam risiko yang khusus antara lain usia lanjut, pengangguran, dan isolasi sosial.
2. Mengembangkan system pembuatan skor dengan pembobotan untuk indicator-indikator yang sangat penting.
3. Meneliti sumber-sumber yang dapat digunakan untuk usaha pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi.
4. Mengembangkan daya muat serta strategi pelayanan sesuai dengan tingkat risiko. Dalam hal ini, mengadakan tekanan khusus pada intervensi dini dan yang tepat bagi individu-individu yang ada dalam risiko tinggi dengan menggunakan sumber-sumber dengan sangat efektif.
5. Mengembangkan system pemantauan, dan system evaluasi.



b. Pendekatan multisektoral
Pendekatan multisektoral dilakukan dengan koordinasi padda semua tingkat pelayanan. Koordinasi ini merupakan keharusan yang sangat mendasar guna keberhasilan program kesehatan mental. Tujuan pendekatan ini untuk mencapai kerja sama dan koordinasi antara petugas kesehatann, guru, pemuka-pemuka agama, ,masyarakat, dan orang tua. Pemilihan cara-cara yang tepat, sederhana, efektif, dan tidak mahal dengan memberi tekanan pada pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi.



c. Pendekatan sistem
Pendekatan sistem dilakukan dengan cara mempelajari dan menkonseptualisasi masalah-masalah yang berkaitan satu sama lain maupun yang berdiri sendiri. Lima hal utama yang harus diperhatikan dalam pendekatan system ini, yaitu mempelajari:
1. Tujuan dari sistem dan ukuran (indikator) pencapaian system keseluruhan
2. Ruang lingkup system dan kendalanya.
3. Sumber penunjang system
4. Komponen-komponen system atau sub system
5. Manejemen system yang diperlukan.



Sebuah rumah sakit mental miisalnya, mepunyai banyak tujuan dan ini dapat dirancangkan dalam tujuan system keseluhan sebagai berikut :
- Membebaskan penderita dari gejala-gejala mental dan mengembalikan penderita kemasyarakat
- Merehabilitasi penderita dengan meningkatkan kemampuan, penyesuian penderita dalam masyarakat dan produktif
- Menyelenggarakan suatu fasilitas yang menyediakan pekerjaan bagi individu,
- Melaksanakan pendidikan dan latihan yang propesional untuk kesehatam mental.
- Menjalankan penelitian dan evaluasi pengobatan penderita mental serta penilaian keberhasilan petugas dan program latihan.



Untuk mencapai tujuan system itu perlu dilakukan penelitian terhadap berbagai variable yang berhubungan, dalam hal ini perlu diteliti mengenai hubungan rumah sakit dengan keadaan system sosial ekonomi keseluruhannya, sikap masyarakat terhadap sakit mental serta kesedihannya menerima penderita yang dipulangkan kembali kemasyarakat, tersedianya pekerjaan bagi penderita atau mantan penderita, serta ekonomi yang dapat menunjang kehidupan mereka. Sumber-sumber penunjang yang perlu dipelajari antara lain keuangan, ketenagaan, dan program yang berkaitan dengan “input”, pengobatan, dan “output”.



Selain itu yang masih perludiperhatikan yaitu macam-macam komponen system yang perlu dipilih untuk diteliti. Komponen tersebut antara lain evaluasi pemasukan penderita, skrining, proses penegakan diagnostic; atau cirri-ciri demografis populasi yang masuk rumah sakit, jenis penyakit yang diderita, dan tingkat sangatnya penyakit..



Karena input dalam system bervariasi dan ini berpengaruh besar terhadap output, maka ada variasi pula pada proses pengobatan, atau pada program rehabilitasi. Output dari system adalah kembalinya penderita kedalam masyarakat, petugas yang terlatih, profesi yang terdidik, dan lain sebagainya. Yang terpenting dari ini adalah bahwa semua adalah bahwa semua pendekatan ini harus ada dalam strategi perencanaan.



B. Pendekatan Berdasarkan Teori



1. Pendekatan psikodinamik
Teori psikoanalisa sebagai suatu teori tentang pribadi (sonality ) dengan semua teori-teori lain dalam bidang psikologi, baik dari segi cara yang digunakannya dalam mengumpulkan data-datanya, ataupun dari segi proses data tersebut. Teori ini berdiri atas asumsi-asumsi yang diterima oleh orang-orang yang menganutnya.
Teori-teori psikodinamik juga memusatkan perhatian pada pentingnya pengalaman awal masa kanak-kanak. Dalam pandangan ini, benih-benih dari gangguan-gangguan psikologis sudah ditanamkan pada tahun-tahun awal pertumbuhan. Karena teori psikoanalisa ini berasal dari Freud, maka penjelasan akan dimulai dengan sumbangan-sumbangan Freud.
- Psikoanalisis Freud
Sigmund Freud lahir pada tanggal 6 mei 1856 di Freiburg, dinegeri yang pada waktu itu dikenal Australia-Hongoria. Ia mulai sebagai peneliti, dan kemudian diangkat sebagai dosen penyakit saraf di Universitas Wina. Ia mulai mengadakan praktek privat dalam bidang neorologi pada tahun 1886. Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Wina, tetapi kemudian melarikan diri ke London ketika Nazi mulai berkuasa. Ia tetap giat menulis sampai meninggal pada tahun 1939.



Ide-ide pokok Freud mengenai pembentukan dan struktur kepribadian langsung tumbuh dari pengalamannya dalam merawat pasien neorotik. Misalnya, ia mengetahui bahwa banyak sikap dan perasaan yang diungkapkan pasien-pasiennya tidak mungkin berasal dari alam sadar melainkan dari alam bawah sadar. Diantara ciri bawah sadar yang terpenting, ialah desakan untuk mencapai keinginannya, yang diikuti oleh bermacam-macam carakadang-kadang dilaksanakan melalui hilang ingatan, yang membantu orang dalam melepaskan tanggung jawab yang tidak diingininya. Sama dengan hilang ingatan adalah keadaan pingsan, dimana orang yang kehilangan kesadaran, tidak akan merasakan keadaan yang tidak dapat dipikulnya.



Pengalaman-pengalamannya kemudian dalam terapi memberinya keyakinan bahwa ketidaksadaran merupakan faktor penentu tingkah laku yang penting dan dinamik.



2. Pendekatan Behavioral
Yang dapat digolongkan sebagai tokoh-tokoh dan banyak memberikan informasi mengenai pendekatan Behavioral antara lain John D. Krumbolt, Carl E. Thoresen, Ray E. Hosfrord, Bandura, Wolpe dan sebagainya.
Konsep pokok
Konselor behavioral membatasi perilaku sebagai fungsi interaksi antara bawaan dengan lingkungan. Prilaku yang dapat diamati merupakan suatu kepedulian dari para konselor sebagai criteria pengukuran keberhasilan konseling. Menurut pandangan ini manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar seperti yang dikemukakan oleh Freud.
Dalam konsep behavioral, prilaku manusia merupakan hasil belajar, sehingga dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar.



3. Pendekatan Kognitif
Pandangan kognitif menjelaskan tingkah laku abnormal berdasarkan pikiran-pikiran yang keliru dan proses-proses pikiran yang kalut (Beck dan Emery, 1985). Biasanya masalah-masalah yang berkenaan dengan pikiran dianggap sebagai sintom-sintom dari gangguan-gangguan psikologis, tetapi dalam padangan kognitif, pikiran-pikiran itu dilihat sebagai penyebab dari gangguan-gangguan itu.



Masalah-masalah dengan isi kognitif
Masalah-masalah dengan isi kognitif (pikiran-pikiran ) adalah masalah-masalah dengan apa yang dipikirkan. Bila kita memiliki informasi yang salah tentang suatu situasi, maka respon kita terhadap situasi itu juga mungkin salah atau abnormal. para ahli teori berpendapat bahwa banyak tipe gangguan mental disebabkan masalah-masalah yang menyangkut isi kognitif. Misalnya, seorang mengalami depresi karena ia berfikir “ aku adalah seorang yang tidak berharga”.



Masalah-masalah dengan proses-proses kognitif
Masalah-masalah dengan proses-proses kognitif adalah masalah-masalah dengan bagaimana orang berpikir. Perhatikan apabila proses kognitif kacau, maa isi kognitif bisa juga terpengaruh, tetapi akibat-akibatnya sangat berbeda dari apa yang terjadi bila hanya ada masalah dengan isi kognitif. Bila ada masalah-masalah dengan isi kognitif, maka kepercayaan-kepercayaan seseorang individu adalah salah tetapi pikiran-pikirannya mudah dipahami. Sebaliknya, apabila ada masalh-masalah dengan proses-proses kognitif, maka tidak hanya kepercayaan-kepercayaan individu salah tetapi juga pikiran-pikiran tidak dapat dipahami.



4. Pendekatan fisiologis
Pendorong utama untuk segi pandangan ini muncul penemuan-penemuan mengenai hubungan antara gangguan-gangguan fisik dan gangguan tingkah laku.
Segi pandangan fisiologis mengemukakan bahwa semua tingkah laku abnormal disebabkan oleh gangguan pada struktur atau fungsi tubuh. Gangguan tersebut dapat dapat disebabkan oleh cacat yang diperoleh melalui luka atau infeksi sebelum atau sesudah kelahiran, atau oleh suatu malfungsi yang kurang lebih bersifat sementara yang diseebabkan oleh suatu kondisi yang ada pada waktu tertentu, misalnya demam yang tinggi disebabkan eloh infeksi yang bersifat sementara. Segi pandangan yang kurang ekstrem, yang masih menekankan pentingnya fungsi fisiologis, mengemukakan bahwa tingkah abnormal merupakan produk gabungan dari tiga tipe gangguan proses: dalam tubuh ( misalnya kekurangan hormon), dalam fungsi psikologis (misalnya kecendrungan kearah perasaan malu), dan dalam lingkingan sosial (misalnya angka pengangguran yang tinggi pada masyarakat).
Ada sejumlah factor fisiologis yang mempengaruhi tingkah laku organism. Bagaimana kita bertingkah laku dan berfikir tergantung tidak hanya pada tingkatan masing-masing factor saja, tetapi juga pada hubungan antara factor-faktor itu. Faktor-faktor genetik, otak dan sistem saraf, dan kelenjar-kelenjar dokrin memainkan peran yang penting dalam proses-proses psikologis dan tingkah laku manusia.



5. Pendekatan Humanistik-Eksistensial
Pandangan humanistik-eksistensial adalah suatu pandangan yang agak baru untuk memahami tingkah laku abnormal dan dalam banyak hal yang dikembangkan sebagai reaksi melawan pandangan-pandangan lain. Pandangan humanistik-eksistensial kadang-kadang disebut sebagai “mazhab ketiga” untuk membedakan dari segi pandangan psikodinamik dan pandangan behavioral yang dominan ketika pandangan humanistik-eksistensial dikembangkan.
Para pendukung pandangan ini tidak menerima pandangan yang mengemukakan bahwa manusia adalah produk dari dorongaon-dorongan tak sadar, pengongsian (conditioning), dan fisiologi. Para humanis dan eksistensialis mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk sadar yang memiilih secara bebas tindakan-tindakannya, dank arena pilihannya bebas itu maka setiap setiap manusia berkembang sebagai seorang individu yang unik. Pendukung dari pandangan ini juga mengemukakan bahwa untuk memahami tingkah laku seseorang sangat penting melihat atau mengalami dari segi pandangannya sendiri karena tingkah lakunya disebabkan oleh pilihan sadarnya dan pilihannya itu dipengaruhi oleh persepsi pribadinya tentangg situasi. Karena penekanan diletakkan pada pentingnya persepsi untuk menentukan tingkah laku, maka pandangan humanistik-esistensial kadang-kadang disebut pendekatan fenomenologis. Penomenologis adalah pendekatan fisiologis yang bertolak dari gagasan bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dan bukan melalui pikiran dan intuisi.



Carl Rogers (1902-1987)
Carl Rogers adalah seorang pendeta sebelum dia menjadi psiikolog. Seperti para psikolog humanistik lain, ia berpendapat bahwa manusia cenderung membangun dirinya dengan kebebasan dan memiilih dan bertindak.



Rogers berpendapat bahwa orang-orang memilki cara-cara unik untuk melihat diri mereka sendiri dan dunia yang disebut Rogers frame of reference (kerangka acuan) yang unik. kita menetapkan diri kita dalam cara-cara yang berbeda dan menilai diri kita menurut sejumlah nilai yang berbeda-beda. Rogers mengemukakan bahwa kita semua mengembangkan suatu kebutuhan akan penghargaan diri dan penghargaan diri kita terbungkus dalam cara bagaimana kita bertindak sesuai dengan cita-cita kita.



6. Pendekatan Sosio-Budaya
Para ahli sosio-budaya mengemukakan bahwa penyebab tiingkah laku abnormal tidak ditemukan dalam individu melainkan dalam masyarakat itu sendiri. Orang-orang akan mengembangkan masalah-masalah psikologis bila mereka berada dalam stress yang hebat yang disebabkan kemiskinan, kemeralatan sosial, diskriminasi, dan tidak memiliki peluang. Dengan kata lain, pandangan sosio budaya melihat tingkah laku abnormal (maladaftif) sebagai akibat dari ketidakmampuan individu untuk menangani stress secara efektif. Hal itu tidak dilihat sebagai penyakit atau masalah yang ada hanya dalam individu, tetapi sekurang-kurangnya sebagian merupakan kegagalan system dukungan sosial.



Menurut para ahli teori sosio-budaya yang radikal, seperti psikiater Thomas Szasz (1961), penyakit mental tidak lebih daripada mitos (suatu konsep yang digunakan untuk menodai dan menundukkan orang-orang yang tingkah lakunya menyimpang dari masyarakat). Szasz mengemukakan bahwa apa yang dinamakan penyakit mental sebenarnya adalah masalah-masalah dalam hidup bukan penyakit seperti influenza, tekanan darah tinggi, dan kanker. Lebih lanjut dia mengemukakan bahwa orang-orang yang melukai hati orang lain atau menjalankan tingkah laku yang menyimpang dari masyarakat dilihat sebagai ancaman oleh orang-orang yang sudah merasa diri mapan.



C. Pendekatan Berkaitan dengan Normal dan Abnormal
Pada umumnya ada beberapa pendekatan yang digunakan untuk menentukan apakah seseorang termasuk dalam kategori sehat secara mental ataukah tidak.



1. Pendekatan statistik
Pendekatan ini baranggapan bahwa orang yang sehat secara mental atau normal adalah orang yang melakukan tingkah laku yang umumnya dilakukan oleh banyak orang lainnya. Atau dengan kata lain, suatu tingkah lakudisebut sehat bila tingkah laku tersebut memiliki frekuensi kemunculan yang tinggi dalam populasi. Sebaliknya, orang yang bertingkah laku tidak seperti tingkah laku kebanyakan orang dianggap sebagai orang yang tidak normal.
Sepintaspendekatan ini terlihat benar, namun bila dipikirkan secara mendalam, tampat beberapa kelemahannya. Ada tingkah laku yang dimiliki orang kebanyakan tapi dianggap normal atau sehat. Misalnya mampu berbicara dalam 5 bahasa. Jarang ada yang memiliki kemampuan tersebut, namun orang yang memilikinya dianggap normal,atauu misalnya orang yang dapat berjalan diatas bara api tanpa terbakar, tetap dianggap sebagai orang yang sehat atau normal.
Sebaliknya, ada tingkah laku yang sebenarnya tidak sehat tetapi dilakukan oleh banyak orang. Misalnya merokok, tingkah laku mereka tergolong kedalam tingkah laku yang tidak sehat atau tidak normal, namun dilakukan banyak orang.



2. Pendekatan Normatif
Pendekatan ini melihat orang sehat secara mmental berdasarkan apakah tingkah laku orang tersebut menyimpang dari norma sosial yang berlaku dimasyarakat atau tidak.tolok ukur yang dipakai dalam pendekatan ini adalah norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Orang yang mampu menyesuaikan diri dengan norma masyarakatnya dianggap sebagai orang yang memiliki kesehatan mental yang baik. Sementaraa orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan norma sekitarnya memiliki kesehatan mental yang buruk.
Pendapat inipun memiliki kelemahan. Ada tingkah laku yang sebetulnya menyimpang dari norma yang ada tetapi dianggap sebagai normal, misalnya tingkah laku homoseksual. Masyarakat barat sekarang ini menganggap prilaku homoseksual bukan lagi dikategorikan sebagai penyimpangan seks. Prilaku korupsi yang telah terjadi dinegara kita pada semua lapisan birokrasi, sekarang ini dianggap normal. Sebaliknya, orang yang tetap berusaha berprilaku jujur malah dianggap sebagai orang yang tidak normal dan bahkan “tidak sehat”.



3. Pendekatan Distress Subjektif
Pendekatan ini beranggapan orang dianggap normal atau sehat bila merasa sehat atau tidak ada persoalan dan tekanan yang mengganggunya.
Kelemahan pendekatan ini adalah karena menekankan padea subjektivitas individu mengakibatkan tidakl ada ukuran yang pasti sehingga semuanya menjadiserba relative, tergantung pada situiasi yan dihadapi. Contohnya, bila orang tiba-tiba berbicara terus meneruus diketahui artinya dimuka umum, maka ia dianggap sedang sakit atau terganggu dan tidak normal. Namun bila perilaku tersebut dimunculkan pada suatu ritual keagamaan, perilaku tersebut dianggap wajar dan normal.



4. Pendekatan Fungsi atau Peranan Sosial
Pendekatan ini melihat normal atau tidak sehatnya sesesorang bersdasarkan mampu tidaknya ourang tersebut menjalankan kegiatan hariannya. Orang dianggap sehat atau normal bila ia mampu menjalankan fungsi dan peranannya dalam masyarakat dan tiiidak mengalami gangguan dalam menjalankan tugas-tugas hariannya.
Kelemahan pendekatan ini adalah tidak semua orang bisa dikatakan normal meskipun ia mampu menjalankan fungsi dan perannya, misalnya penderita gangguan bipolar (manis depsresif). Pada saat itu orang bersangkutan mengalami episode mania, dia mungkin menjadi bersemangat dan mampu melakukan berbagai aktifitas dengan baik, padahal sebenarnya diasedang terganggu.



5. Pendekatan Interpersonal
Pendekatan ini melhat normal atau sehat tidaknya seseorang atau apakah orang tersebut mampu menyesuaikan diri dilihat berdasarkan kemampuan seseorang untuk menjalin hubungan yang interpersonal dengan orang lain dan tidak menarik diri dari orang lain.



Pendekatan inipun memiliki kelemahan, tidak selalu orang yang menyendiri itu tidak sehat atau tidak normal dan tidak map[u menyesuaikan diri. Terkadang kesendirian itu penting supaya orang mampu memahami diri dengan lebih baik atau juga sebagai kesempatan untuk memulihkan diri. Juga tidak selalu orang yang mampu menjalin relasi dengan orang lain merupakan orang yang sehat. Misalnya bagi individu yang mengalami gangguan siklotimia, yitu gangguan semacam manis depresi tetapi ayunan suasana perasaannya tidak ekstri. Penderitanya biasanya tidak bisa terpisah dari orang lain.
Berbagai pendekatan diatas menunjukkan kesulitan yang muncul untuk memberi arti apa maksud dengan sehat secara mental. Kesehatan mental tidak hanya sekedar dipahami sebagai kemampuan untuk tahan dalam kondisi tekanan (stres) yang tinggi. Nbanyak prajurut yang dilatih untuk tahan menghadapi lingkungan yang ekstrim, tapi seringkali mereka memiliki keluarga yang tidak bahagia karena perilaku kekerasan yang ditunjukkan kepada pasangan maupun kepada anak-anaknya.
Kesehatan mental juga tidak bisa dipahami hanya sebagai kemampuan untuk melakukan penyesuaian diri dengan baik saja. Banyak orang yang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan tapi mereka belum bisa dikatakan sehat secara mental.






REFERENSI
Moeljono Notosoedirdjo dan Latipun, Kesehatan Mental “konsep dan penerapan”, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 1999.
Prof. Dr. Hasan Siswanto. S.Psi.,M.Si,Kesehatan Mental ”konsep, cakupan dan perkembangannya”, Penerbit Andi, Yogyakarta,2007
Langgulung, Teori-Teori Kesehatan Mental, Pustaka Al Husna, Jakarta, 1992.
Yustinus Semiunn, OFM, Kesehatan Mental 1, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2006.

Prof. Dr. Abdul Aziz el-Quussiy, Pokok-Pokok Kesehatan Mental, Bulan Bintang, Jakarta, 1986.
Prof. Dr. H. Mohammad Surya, Teori-Teori Konseling, C.V. Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2007.