PENEGAKAN HAM DI INDONESIA
DALAM PERLINDUNGAN HAM DI INDONESIA
PENDAHULUAN
Hak asasi manusia (HAM) di
percayai sebagai nilai universal. Nilai universal berarti tidak mengenal
batasruang dan waktu, nilai universal ini yg kemudian di terjemahkan dalam
berbagai produk hukum nasional di berbagai negara, untuk dapat melindungi dan
menegakkan nilai-nilai kemanusiaan bahkan nilai universal ini di kukuhkan dalam
instrument internasional, termasuk perjanjian internasional dibidang HAM,
seperti internasional coverment on economic, cocial dan cultural rights, dsb.
Namun kenyataan menunjukkan bahwa
nilai nilai HAM yang universal ternyata dalam penerapannya tidak memilikki
kesamaan dan keseragaman penafsiran right to live (Ham Untuk Hidup).
Penerapan akan terkait dengan
karakteristik ataupun sifat khusus yang melekat dalam tiap negara. Adalah
merupakan satu fakta bahwa negera di dunia tidak memiliki kesamaan dari
berbagai aspek, termasuk ekonomi, social, politik dan, terpenting sistem budaya
hokum, sebagai akibat terjadi ketidak seragaman dalam pelaksanaan HAM, di
tingkat paling nyata dalam masyarakat.
Ada empat penyebab utama yang akan
di argumentasikan sebagai alas an perjanjian internasional di bidang HAM tidak
dapat di tegakkan oleh negara setelah di ikuti.
A.
Pelaksanaan
pejanjian internasional
a.
Yang
bisa dan tidak memecahkan infrasturktur
-
Ada fakta bahwa peradaban dari
bangsa eropa telah lama di anggap sebagai peradaban yang diterima, melalui
paksaan maupu kesukarelaan oleh banyak bangsa. Peradaban eropa di anggap sebagai
peradaban modern.
-
Hal
ini dapat kita lihat dalam rumusan salah satu hukun internasional sebagai mana
tercantum dalam pasal 38 ayat 1 statuta mahkamah internasional, yaitu prinsip
prinsip umum yang di akui oleh bangsa bangsa beradab (General Principles of law
recognized by civilized national).
B.
Duklis
dan kompromis
-
Dalam
pembentukkan perjanjian internasional, meskipun di usulkan oleh negara maju
namun negara berkembang tetap memiliki kesempatan untuk memperdebatkannya,
disini defiasi yang mungkin terjadi dari perancang negara maju dapat di redam.
-
Hanya
saja para ahli dari negara berkembang kerap mencari hal hal yang bersifat
ideal, hingga kurang memperhatikan instruktur pendukung bagi implementasinya,
dapat di pahami negara maju melakukan bebagai cara untuk mendesak dan menekan
pemerintahan negara berkembang agar turut dalam berbagai perjanjian
internasional di bidang HAM. Bila ini terjadi maka ada dasar bagi negara maju
untuk meminta pemerintah negara berkembang untuik mematuhi kewajibannya.
Desakan yang di lakukan tidak di anggap sebagai pelanggaran hokum
internasional, mengingat negaa berkembang tersebut mengikutti perjanjian
internasional tertentu.
C.
Transformasi
setengah hati
-
Pemerintah
dari negara berkembang bila turut dalam perjanjian internasional di bidang HAM
idak dapat diharapkan untuk segera
mentranformasikan ke dalam hokum nasional, bahkan mencerminkan dalam kehidupan
masyarakat, keikutsetaan sering lebih karena keterpaksaan bukan karena
kesadaran untuk mengingat diri.
-
Di
negara berkembang kerap keikut sertaannya pada pejanjian internasional di bidang HAM di tunjukkan untuk kepentingan
politik, karena di lakukan dalam rangka menunjukkan komitmen, satu pemerintahan
kepada rakyatya terhadap penghormatan HAM. Jalan termudah untuk menunjukkan komitmen
ini adalah turut sertadalam perjanjian internasional di bidang HAM tanpa
mengkaji lebih dalam konsekuensi setelah perjanjian internasional di ikutti
bila dua belah ini terjadi maka peranjian internasional bidang HAM tidak dapat
membawa kebaikan terhadap kondisi dan penghormatan HAM. Sebagai akibat
penegakkan HAM hanya terbatas pada kata seloggan yang tidak dirasakan di
tingkat masyarakat sebagai contoh Indonesia telah meratifikasi
internasional, conventional on the elimination of all forms ofraciol disc
rumination.
D.
Budaya
hokum dan perjanjian internasional
-
Bebrapa
kelemahan perjanjian internasional di bidang HAM bila telah di ratifikasikan
oleh negara berkembang, pertama fakta di negara berkembang telah perubahan
terhadap peraturan perundang undangan tidak serta merta, berarti bahwa aka nada
perubahan yg mendasar di tingkat masyarakat. Di negara berkembang kebanyakan
yang terjadi adalah perubahan terhadap peraturan perundang-undangan tidak serta
merta terasa dalam kehidupan sehari hari masyarakat. Sehingga bila retifikasi
terhadap suatu perjanjian internasional di bidang ham kerap berhenti sampai
pada proses indentifikasi tersebut.
PENUTUP
Perjanjian internasional yang
mempromosikan penghormatan terhadap ham ternyata tidak cukup untuk memperbaiki
kondisi di negara berkembang. Ada
berbagai alas an bagi negara berkembang dalam pemenuhan kewajibannya dalam
perjanjian internasional. Ternyata, sebagai mana telah di uraikan, ini bukan
karena adanya negara berkembang untuk melanggar apa yg telah di sepakatti.
Tidak
tercerminnya nilai universal ham yang termuat dalam perjanjian internasional
dalam kehidupan masyarak lebih karena kondisi pada negara yang tidak mungkin
untuk memenuhinya, namun kini tidak berarti apologia, untuk tidak secara terus
menerus melakukan upaya penghormatan hamperjanjian internasional yg di ikutti
harus di tindak lanjutti dengan (1). Tranformasi kedalam hokum nasional. (2)
penyiapan aparatur penegak hukum yang memahami nilai nilai baru. (3). Penyiapan
infra struktur pendukung dan. (4) mengkondisikan perubahan budaya hokum
masyarakat.
Daftar Pustaka
Burkens,
M.C. 1990. Beginsinselen Van de Democratiche Rechtsstaat Tjeenk Willink. Zwole.
Hadjon, P.M. (et
al.). 1994. Pengantar Hukum Atministrasi
Indonesia.
Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Ijehar,
Budair Muh. 2003. HAM Versus Kapitalisme. Insist Pers. Yogyakarta.