BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan hal yang penting bagi kehidupan manusia. Pendidikan menjadikan seseorang lebih bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki keterampilan, pengetahuan dan kepribadian yang akan mengembangkan potensi diri yang dimiliki serta turut berperan terhadap kemajuan bangsa. Hal ini sejalan dengan isi Undang-undang No. 20 Tahun 2003 (Depdiknas, 2006: 3) tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Tujuan dari adanya pendidikan yaitu peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan berlangsung sepanjang hayat atau lebih dikenal dengan pendidikan seumur hidup. Dwi Siswoyo, dkk (2008: 146) mengemukakan bahwa makna pendidikan sepanjang hayat yaitu pendidikan tidak berhenti hingga individu menjadi dewasa, tetapi tetap berlanjut sepanjang hidupnya. Proses pendidikan dapat terjadi kapan saja dan di mana saja. Salah satu tempat terjadinya proses pendidikan adalah lingkungan keluarga. Pendidikan tidak dapat dipisahkan dari peran keluarga.
Hal ini sesuai dengan pendapat Henny Supolo (Kompas, 2000: 41) yang mengatakan bahwa persentuhan anak yang pertama adalah dengan keluarga. Orang tua memiliki peran yang penting bagi perkembangan dan pendidikan seorang anak, yaitu bertanggung jawab untuk mendidik, mengasuh dan membimbing anak-anaknya untuk mencapai tahapan tertentu sehingga pada akhirnya seorang anak siap dalam kehidupan bermasyarakat. John Locke (Ladislaus Naisaban, 2004: 272) mengatakan bahwa anak yang baru lahir bagaikan kertas kosong yang putih bersih, maksudnya adalah sewaktu lahir pikiran manusia tidak memuat apa-apa. Semua ide terbentuk melalui proses penginderaan, penglihatan, pendengaran, perabaan dan penciuman. Sehingga John Locke pun menekankan aspek perilaku yang dipelajari melalui pengalaman. Setiap orang tua tentu ingin memiliki anak-anak yang cerdas. Misalnya dengan mendapatkan nilai yang tinggi untuk pelajarannya di sekolah. Namun, hal yang kurang diperhatikan oleh beberapa orang tua adalah bahwa keberhasilan seseorang tidak hanya dikarenakan kecerdasan intelektual yang tinggi melainkan juga didukung oleh kecerdasan-kecerdasan lain yang ada pada diri anak tersebut. Seperti halnya kutipan Desmita (2005: 170) mengenai pandangan kotemporer yang menyebutkan bahwa kesuksesan hidup seseorang tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektual (Intelligence Quotient-IQ), melainkan juga oleh kecerdasan emosi (Emotional Intelligence-EI) atau Emotional Quotient-EQ.
Daniel Goleman (Agus Efendi, 2005: 159) menyatakan IQ hanya menyumbang sekitar 20 persen bagi keberhasilan seseorang, sedangkan 80 persen kesuksesan seseorang justru dipengaruhi oleh kecerdasan emosi. Orang tua adalah seseorang yang pertama kali harus mengajarkan kecerdasan emosi kepada anaknya dengan memberikan pengalaman, pengetahuan dan teladan. Keterlibatan orang tua dalam memberikan bimbingan serta arahan bagi anak akan menentukan keberhasilan anak pada tahap selanjutnya. Pada hakikatnya kecerdasan emosi adalah suatu jenis kecerdasan yang memusatkan perhatiannya dalam mengenali, memahami, merasakan, mengelola, memotivasi diri sendiri dan orang lain serta dapat mengaplikasikan kemampuannya tersebut dalam kehidupan pribadi dan sosialnya. Inti kecerdasan emosi menurut Goleman (Agus Efendi, 2005: 191) adalah pengenalan atau kesadaran diri, yakni kesadaran akan perasaan diri sendiri sewaktu perasaan itu timbul. Kecerdasan emosi sangat penting bagi kehidupan seseorang. Tanpa kecerdasan emosi, kemampuan untuk memahami dan mengelola perasaan-perasaan diri sendiri dan orang lain, menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis, serta kesempatan untuk hidup bahagia dan sukses menjadi sangat tipis.
Contoh emosi positif yang dapat mengantarkan seseorang menuju keberhasilan menurut Hamzah B. Uno (2010: 73) misalnya inisiatif, semangat juang, kemampuan menyesuaikan diri, empati, percaya diri yang tinggi dan sebagainya. Penelitian yang telah dilakukan oleh Parke (Santrock, 2007: 159) membuktikan bahwa penerimaan dan dukungan orang tua terhadap emosi anak berhubungan dengan kemampuan seorang anak untuk mengelola emosi dengan cara yang positif. Pada kenyataannya, diketahui bahwa beberapa anak memiliki kecerdasan emosi yang rendah. Salah satu fakta yang diterbitkan pada salah satu website (Merdeka, 2013) 27 April 2013 menyebutkan bahwa ada kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang anak berinisial YI yang berusia 7 tahun terhadap temannya sendiri Nur Afiz Kurniawan yang usianya 6 tahun pada hari Rabu tanggal 24 April 2013 sekitar pukul 16.00 WIB. Korban Nur Afiz Kurniawan ditemukan tewas mengambang di sebuah danau buatan perumahan Sumarecon, Bekasi pada hari Kamis tanggal 25 April 2013 oleh warga. Pada data tersebut diketahui bahwa pelaku pembunuhan merupakan salah satu anak broken home yaitu dengan latar belakang keluarga yang bermasalah, tidak pernah mendapatkan perhatian dan asuhan yang seharusnya dari orang tuanya. Selama ini, dia jarang pulang dan menghabiskan waktu di jalanan untuk mencari uang dengan mengamen. Hal inilah yang diduga menjadi pemicu pembunuhan yaitu ketika sahabatnya tidak mengembalikan uang seribu miliknya itu maka pelaku nekat untuk menenggelamkan korban.
Uang tersebut berharga baginya karena YI tidak pernah mendapatkan uang jajan dari orang tuanya. Saat YI tidak pulang ke rumah pun orang tuanya tidak mencarinya dan YI juga telah empat kali pindah sekolah dasar seperti yang dikemukakan oleh Kapolresta Bekasi Kota, Kombes Pol Priyo Widyanto. Fakta lain juga terjadi di wilayah SD se-gugus II Kecamatan Umbulharjo Yogyakarta. Berdasarkan wawancara pada tanggal 27 September 2013 dengan guru kelas V di SD Tahunan Yogyakarta yaitu Ibu Anis, ditemukan fakta bahwa sebagian siswa tidak memiliki masalah yang berarti. Namun, ada beberapa siswa yang bertengkar dengan teman sekelas yang menandakan kurangnya tingkat penyesuaian diri, ada siswa yang justru pendiam dan kurang bersosialisasi dengan temannya, siswa yang membolos, siswa yang suka mengejek teman lainnya sampai dengan siswa yang sering menangis karena ejekan temannya. Selain itu, ada siswa yang bersikap di luar batas kewajaran anak-anak seusianya. Salah satu sikap yang dilakukan siswa itu adalah suka mengganggu teman sekelasnya. Hal ini dikarenakan kedua orang tua yang telah bercerai sehingga anak tersebut kurang mendapatkan perhatian, dan pengasuhan dari kedua orang tuanya. Anak yang termasuk siswa kelas V SD Tahunan ini akhirnya pindah dari SD Tahunan. Padahal, menurut guru kelasnya, siswa tersebut merupakan siswa yang pintar jika dibandingkan dengan teman-teman lainnya. Mengembangkan kecerdasan emosi anak sejak dini merupakan hal yang penting terhadap perkembangan emosi dan mental anak.
Hal ini dimaksudkan agar anak selalu berada pada jalur yang benar untuk mencapai kesejahteraan hidup. Perkembangan kecerdasan emosi anak sangat tergantung pada lingkungan anak, salah satunya adalah keluarga. Namun, sebagian orang tua masih kurang memahami mengenai pola asuh yang tepat bagi perkembangan emosi anaknya. Beberapa fakta yang disebutkan perlu mendapatkan perhatian. Pola asuh orang tua menjadi faktor dominan dalam pembentukan kecerdasan emosi anak. Seharusnya anak usia sekolah dasar mendapat perhatian dan pengasuhan yang layak dari orang tua. Sehingga sebaiknya orang tua lebih memahami tentang pengaruh pola asuh yang diterapkan terhadap kecerdasan emosi anak. Setelah melakukan pengamatan dari data yang diperoleh, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Kecerdasan Emosi Siswa Kelas V SD Se-gugus II Kecamatan Umbulharjo Yogyakarta.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat diidentifikasi beberapa permasalahan yaitu: 1. Beberapa orang tua dari siswa kelas V SD se-gugus II Kecamatan Umbulharjo Yogyakarta kurang memperhatikan kecerdasan emosi anaknya. 2. Beberapa siswa kelas V SD se-gugus II Kecamatan Umbulharjo Yogyakarta memiliki kecerdasan emosi rendah. Hal ini ditandai dengan siswa yang sering bertengkar, mengejek, mudah menangis dan sebagainya.