makalah tentang Kepribadian Calon Konselor yang Pancasilais


A.    Definisi Kepribadian
Kata kepribadian berasal dari kata personality (bahasa Inggris) sedangkan dalam bahasa Latin adalah persona yang berarti kedok atau topeng. Yaitu tutup muka yang sering dipakai oleh pemain – pemain panggung, yang maksudnya untuk menggambarkan perilaku,
watak atau pribadi seseorang. Hal itu dilakukan oleh karena terdapat ciri – ciri yang khas yang hanya dimiliki oleh seseorang tersebut baik dalam arti kepribadian yang baik ataupun yang kurang baik. Jadi kepribadian adalah suatu totalitas psikhopisis yang kompleks dari individu, sehingga nampak di dalam tingkah laku yang unik.

B.     Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Kepribadian
Pribadi manusia dapat berubah – ubah, ini berarti bahwa kepribadian manusia itu mudah atau dapat dipengaruhi oleh sesuatu. Dalam pendidikan ada usaha untuk membentuk pribadi, membentuk watak, atau mendidik watak anak, artinya pendidikan berusaha untuk memperbaiki kehidupan anak yang kurang baik menjadi baik.
Untuk melatar belakangi bagaimana usaha membentuk pribadian seseorang, ada baiknya kita menengok sejenak kesejarah psikologi yang membahas masalah ini.
Sejak dahulu memang sudah disepakati bahwa pribadi tiap orang itu tumbuh atas dua kekuatan, yaitu kekuatan dari dalam, yang sudah dibawa sejak lahir, berujud benih, bibit, atau sering juga disebut kemampuan – kemampuan dasar. KH. Dewantara menyebutkan faktor dasar dan faktor dari luar, faktor lingkungan atau yang oleh KH. Dewantara disebut “Faktor ajar”. Yang belum disepakati adalah faktor yang manakah yang lebih kuat antara kedua faktor tersebut.
Sejak dahulu ada dua aliran yang bertentengan, yaitu kaum nativisme yang dipelopori oleh Scoupenhouer, berpendapat bahwa faktor pembawaan lebih kuat dari pada faktor yang datang dari luar. Aliran ini disokong oleh aliran Naturalisme yang ditokohi oleh J.J Rousseau, yang berpendapat bahwa: Segala yang suci dari tangan Tuhan, rusak ditangan manusia. Anak manusia itu sejak lahir, ada didalam keadaan yang suci, tetapi karena dididik oleh manusia, malah menjadi rusak. Ia bahkan kenal dengan segala macam kejahatan, penyelewengan, korupsi, mencuri dan sebagainya.
Di pihak lain, aliran Empirisme yang dipelopori oleh John Locke, dengan teori Tabula rasanya, berpendapat bahwa jiwa manusia sejak dilahirkan itu masih kosong. Baru akan berisi sesuatu bila alat indranya telah dapat menangkap sesuatu, yang kemudian diteruskan oleh urat syarafnya, masuk didalam kesadaran, yaitu jiwa.  Didalam kesadaran ini, hasil tangkapan itu tadi meninggalkan bekas. Bekas ini disebut tanggapan. Makin lama alat indra yang dapat menangkap rangsangan dari luar ini makin banyak dan semuanya itu meniggalkan tanggapan. Didalam kesadaran ini tanggapan saling tarik menarik dan tolak menolak. Yang tarik menarik adalah tanggapan yang sejenis, sedang yang tolak menolak adalah tanggapan yang tidak sejenis.
Melihat pertentangan kedua aliran tersebut, Williem Stern, mengajukan teorinya, yang terkenal dengan teori perpaduan atau konvergensi, yang berpendapat bahwa kedua kekuatan itu sebenarnya berpadu menjadi satu. Keduanya saling memberi pengaruh. Bakat yang ada pada anak kemungkinan tidak akan berkembang kalau tidak dipengaruhi oleh segala sesuatu yang ada dilingkungannya. Demikian pula pengaruh dari lingkungan juga tidak akan dapat berfaedah apabila tidak ada yang menanggapi didalam jiwa manusia.
Jadi pada dasarnya kepribadian seseorang itu dipengaruhi oleh dua faktor yaitu:
1.      Dipengaruhi oleh kekuatan yang dibawa sejak lahir (faktor keturunan/bawaan)
2.      Dipengaruhi oleh kekuatan yang berasal dari luar (faktor dari lingkungan)
Penjabaran dari kedua faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Faktor bawaan adalah segala sesuatu yang telah dibawa oleh anak sejak lahir, baik yang bersifat kejiwaan maupun yang bersifat jasmani.
Macam – macamnya adalah:
a.       Pikiran
b.      Perasaan
c.       Kemauan
d.      Fantasi
e.       Ingatan
f.       Minat
g.      Bakat
h.      Kematangan biologis
i.        Pengalaman
j.        Panjang pendeknya leher
k.      Besar kecilnya tengkorak
l.        Susunan urat syaraf
m.    Otot – otot
n.      Susunan dan keadaan tulang
2.      Faktor dari lingkungan adalah segala sesuatu yang berasal dari luar diri manusia baik yang hidup maupun yang mati yang dapat mempengaruhi kepribadian seseorang, misalnya:
a.       Tumbuh – tumbuhan
b.      Hewan
c.       Batu
d.      Gunung
e.       Pekerjaan orang tua
f.       Kebudayaan
g.      Keadaan ekonomi
h.      Musim
i.        Agama
Dengan demikian, kita dapat mengetahui bagaimana kompleksnya perkembangan pribadi itu dan bagaimana uniknya pribadi itu, sebab tentu saja tidak ada pribadi yang satu yang benar – benar identik dengan pribadi yang lain. Inilah sebabnya mengapa tiap – tiap pribadi itu selalu bersifat kompleks dan unik.

C.     Dasar – Dasar Kepribadian Pancasila
Jika para ahli teori kepribadian menyusun teorinya berdasarkan unsur – unsur, sehingga menggambarkan kepribadian manusia secara otomatis sintetis, misalnya Faculty Psychology, yang beranggapan bahwa jiwa manusia tidak lain adalah hasil kerja otak yang lain. Cartesius yang berpendapat bahwa kepribadian manusia terdiri atas dua subtansi yang heterogen, yaitu cogitation dan extension, W. Wundt yang berpendirian bahwa kasadaran manusia itu hanya berisi kesan – kesan penginderaan (perasaan – perasaan sederhana), maka pendapat anggapan dan pendirian semacam itu telah menimbulkan reaksi dari para ahli yang lain, yaitu dari aliran Psikologis Gestalt, yang dipelopori oleh Wertheimer, koffka, dan kofler. Yang berkelanjutan pada teori medannya Lewing. Munculnya teori organisme, rupanya segera memanggil para pengikutnya, oleh karena didalamnya terdapat banyak titik – titik yang hampir senyatanya ada didalam diri individu dengan proses perkembangan dan segala variabilitasnya.
Menurut teori ini (teori organisme), kepribadian adalah merupakan suatu keseluruhan. Keseluruhanlah yang muncul lebih dahulu, baru kemudian secara samar – samar dan merata nampak bagian – bagian dalam keseluruhan itu. Tiap bagian telah menempati tempatnya sendiri dengan fungsinya sendiri yang tertentu, yang ditentukan oleh berfungsinya seluruh keseluruhan itu, sebaliknya keseluruhan juga baru akan dapat berfungsi bila tiap bagian telah ada didalam keseluruhan itu. Tapi bukannya keseluruhan itu sama dengan jumlah bagian – bagian.
Dalam membicarakan dasar kepribadian pancasila ini kita tidak akan berpendapat bahwa sila – sila dalam pancasila itu berdiri sendiri – sendiri atau terpisah satu dengan yang lainnya melainkan kesemua sila itu merupakan suatu keseluruhan. Kelimanya mempunyai fungsi yang sama, sekalipun strukturnya nampak adanya hierarkhi tertentu.
Arti Pancasila kata Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua kata yaitu: pañca dan śīla, pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Jadi Pancasila adalah prinsip atau asas yang dijadikan sebagai dasar negara Republik Indonesia yang terdiri dari lima sila. Isi dari kelima sila tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Ketuhanan Yang Maha Esa
2.      Kemanusiaan yang adil dan beradab
3.      Persatuan Indonesia
4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5.      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

D.    Struktur Pembentukan Kepribadian Pancasilais
Seperti halnya aliran organisme, pembahasan struktur kepribadian ini beranjak dari dasar yang merupakan suatu keseluruhan, yaitu Dasar Pancasila, yang akan menuju kekepribadian pancasila.
Pada hakekatnya, sila – sila dalam pancasila itu merupakan potensi – potensi yang telah ada pada manusia sejak sebelum dilahirkan. Inilah maka falsafah pancasila itu merupakan falsafah hidup manusia secara universal, seperti halnya sifat monodualis bergandanya manusia, yaitu psikopisis, sosioindividual, dan kulturil religious.
Potensi – potensi yang berujud sila – sila dalam pancasila, terbawa oleh kekuatannya sendiri dan berkembang. Perkembangannyapun menurut masa dan iramanya sendiri – sendiri, yang berlainan antara individu yang satu dengan yang lain. Didalam perkembangannya, potensi – potensi ini mendapat pengaruh dari lingkungannya. Baik lingkungan fisis maupun pengaruh organis, pengaruh sosial maupun non-sosial.
Untuk dapat manggambarkan betapa struktur kepribadian pancasilais itu pada tiap individu, perlu kita adakan perjanjian dahulu. Yaitu apabila tiap – tiap sila dalam pancasila itu dapat kita gambarkan dengan sebuah garis, maka berdasarkan teori Williem Stern, maka garis itu akan merupakan hasil perkembangan yang makin bertambah panjang, dan sebagai hasil paduan antara potensi yang dibawa sejak lahir dengan pengaruh dari luar. Keadaan panjang garis itu pada tiap – tiap individu tidak akan ada yang sama, demikian pula tiap – tiap sila yang terdapat pada individu itu masing – masing. Dan oleh karenanya maka bila kelima garis tersebut berbentuk segilima pada tiap individu, maka bentuk segilima itupun akan bertambah besar dengan keadaan yang berlain – lainan pula, baik antara individu yang satu dengan yang lain, maupun pada satu masa ke masa yang lain pada seseorang individu itu. Namun kelima garis tersebut selalu dalam kesatuan bulat, berbentuk segilima.

E.     Perkembangan Pribadi Pancasila
Diatas telah disinggung serba sedikit, bahwa didalam membicarakan masalah perkembangan kepribadian pancasila, pembicaraan akan dilakukan dengan melalui empat tahap masa perkembangan, oleh karena itu perkembangan ditangani oleh tiga lembaga yang bekerja sama yaitu sekolah sebagai lembaga satu – satunya yang melaksanakan tugasnya secara teratur dan berencana. Dengan kata lain, sekolah memberikan bantuan terbentuknya kepribadian itu secara formal. Pembagiannya dilakukan sebagai berikut:
a.       Dimulai dari umur 6 tahun individu (calon konselor) berada dimasa kanak – kanak, kepribadiannya dibentuk di Taman Kanak – Kanak.
b.      Kemudian diumur 12 tahun individu berada dimasa anak, kepribadiannya dibentuk di SD.
c.       Kemudian umur 18 tahun individu berada dimasa pubertas, kepribadiannya dibentuk di SMP sampai SMA.
d.      Dan yang terakhir pada umur 24 tahun individu berada dimasa dewasa, kepribadiannya dibentuk di perguruan tinggi.
Dengan demikian maka akan dapat dibedakan pula bagaimana cara pembentukannya, materi apa yang patut dipergunakan sebagai bahan pembentukan dan tujuan mana yang harus dapat dicapainya. Pembahasan semacam ini, kecuali memudahkan untuk diikuti juga diharapkan agar para penangannya lebih mengetahui apa, mengapa, dan bagaimana melaksanakan tugasnya yang sebenarnya, bukan sekedar memberikan bahan – bahan hafalan dari buku pegangan yang kebanyakan dianggap kitab suci, yang akhirnya hanya menghasilkan pribadi – pribadi verbalis, justru yang semacam itu adalah yang paling gampang dilaksanakan.
Pendidikan moral pancasila, demikian nama mata pelajaran disekolah dari SD sampai dengan perguruan tinggi yang hampir sama saja, isi, dan caranya, bagaimanapun harus segera kita ganti dengan cara – cara yang lebih benar dan baik, bila kita menghendaki agar pribadi pancasila itu benar – benar dihayati oleh tiap individu bangsa Indonesia, sehingga dapat diamalkan dalam tindakan kehidupan sehari – hari.
Untuk itu diperlukan adanya peninjauan secara psikophisis pada tiap masa sekolah, untuk dapat dirumuskan apa bahan yang patut disuguhkan dan bagaimana cara yang tepat yang harus dilakukan oleh guru. Dengan cara semacam itu dan dimutlakkannya kerjasama antara keluarga, sekolah, dan masyarakat, kiranya tujuan akhir daripada PMP itu akan benar – benar tercapai sebagaimana diharapkan oleh bangsa kita.
Tidak banyak gunanya, bahkan cenderung membahayakan kepribadian pancasila yang hanya dianggap dibibir untuk berverbal – verbalan seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang yang sebenarnya tidak patut berbuat sedemikian menilik kedudukannya didalam masyarakat.
a.       Pada masa kanak – kanak, anak dididik di Taman Kanak – Kanak.
Secara psikhopisis, mereka berada didalam masa realisme naif. Untuk dapat mengerti apa yang diajarkan guru, segala sesuatunya masih harus diberikan secara nyata berperaga. Pengetahuan tentang pancasila cukuplah bila mereka dapat menjawab apakah pancasila itu? Materinya adalah sila – sila dalam pancasila yang harus diucapkan secara benar, baik urutannya maupun susunan kalimatnya. Untuk itu diperlukan cara – cara tertentu. Misalnya dalam bentuk lagu untuk dinyanyikan, ataupun dibawakan sebagai suatu syair yang harus dideklamasikan. Sehingga tidak akan pernah keliru lagi mereka mengucapkan pancasila seperti yang masih banyak terjadi pada orang yang telah duduk di SD bahkan diperguruan tinggi.
Karena anak masih berada dialam nyata, maka guru – guru taman kanak – kanak perlu dipilih dari mereka yang benar – benar memberikan contoh berbuat secara pancasilais, sejauh yang diperlukan oleh anak – anaknya. Perlu dijauhkan dari perbuatan – perbuatan yang tidak baik atau tidak benar. Si anak yang sedang pandai – pandainya meniru, maka apapun yang dilakukan oleh gurunya akan ditirukannya, lebih dari pada apa yang dianjurkan oleh orang tuanya sekalipun. Bukankah gurunya lebih dipercaya daripada orang tuanya pada waktu anak duduk di taman kanak – kanak.
Ajakan untuk menghayati, siapakah yang mengatur siang dan malam, tumbuh dan bertambahnya tumbuh – tumbuhan yang ada disekitarnya, mengatur kemana air itu mengalir, mengapa harus ada matahari dan sebagainya adalah cara yang lebih kena daripada sekedar mengatakan Tuhan. Tuhan, sekalipun seribu sekali sehari. Adalah sama sekali tidak dapat dibenarkan seorang yang mengatakan: Jika kamu ingin sesuatu, mohonlah kepada Tuhan, sebab Tuhan itu Maha Kaya, Maha Murah, Maha Pengasih. Yang boleh di mohon kepada Tuhan hanyalah sesuatu yang abstrak, misalnya keselamatan, ketentraman, kesejahteraan dan sebagainya. Mohon sesuatu yang bersifat material, harus kepada orang tuanya, dengan cara – cara yang baik, yang sopan dan yang sangat penting saja. Hal semacam ini sangat perlu diarifi, untuk jangan sampai usaha penanaman keyakinan ber keTuhanan Yang Maha Esa justru menumbuhkan Atheisme, karena cara – cara yang keliru, yang hanya dengan melancarkan ancaman dan hukuman bila tidak takut kepada Tuhan. Carikanlah dengan berfikir sedalam – dalamnya tentang masalah yang sangat pelik ini, untuk jangan sampai terjadi seperti apa yang dilukiskan dengan sastra yang bagus oleh Akhdiat Karta Miharja dalam buku roman agamanya yang berjudul Atheis. Bukankah agama itu akal? Menanamkan agamapun memerlukan akal. Akal yang dalam, supaya bisa mencapai sesuatu yang muskil.
 
b.      Sampai dengan umur 12 tahun anak duduk di SD.
Kehidupan anak sudah memasyarakat. Pengetahuan pancasila sudah harus lebih dikembangkan sampai anak dapat menjawab “Mengapa kita harus ber pancasila”. Untuk ini dapat dipergunakan alat pembantunya, yaitu pelajaran ilmu bumi, sejarah, tata Negara, dan ilmu – ilmu sosial lainnya. Justru alam kehidupan jiwa anak yang semula bersifat realism naïf itu sudah mulai berkurang karena mulai tumbuhnya pemikiran yang abstrak sekalipun kadang – kadang memerlukan bantuan dengan benda – benda nyata untuk sementara.
Perlu ditanamkannya pancasila sebagai alat pemersatu, justru Negara kita terdiri atas lebih dari 3000 pulau, dengan bermacam – macam bahasa, suku bangsa, adat istiadat, kebiasan, tatacara, bahan makanan, lingkungan dan sebagainya. Kecakapan guru untuk menghubungkan sesuatu mata pelajaran dengan sila – sila dalam pancasila, sangat dibutuhkan. Bahkan harus dijadikannya tujuan pendidikan, disamping tujuan pengajaran. Sila yang manakah yang dapat dicapai dengan pengajaran budi pekerti, sila yang manakah yang dapat dicapai dengan bahan perang diponegoro, sila yang manakah yang dapat dicapai dengan permainan sepak bola, sila yang manakah yang bisa dicapai dengan bahan pengajaran matematika: mencari KPT dan PPT dan sebagainya.
Usaha – usaha semacam ini adalah merupakan tugas utama dari semua lembaga pendidikan guru, yang dengan demikian tidak akan terjadi pekerjaan guru diserahkan kepada setiap orang yang tidak memiliki kompetensi dalam bidang tersebut. Profesi guru baru akan mendapatkan pengakuan bila kemampuan berpancasilanya m,urid – muridnya nampak didalam kehidupan sehari – hari. Kemampuan dan kecakapan guru untuk menuntun anak – anaknya mencapai sila yang manapun lewat bahan pengajarannya, harus benar – benar terlatih, diarifi, dan diusahakan. Bukan sekedar dihafalkan, dimengerti, atau dikletahui. Tantangannya adalah pertanyaan Mengapa?

c.       Sampai dengan umur 18 tahun anak duduk di SMP sampai SMA.
Mereka secara pesikophisis, berada didalam masa pubertas. Dimasa ini para remaja berada didalam keadaan serba tidak menentu, bimbang ragu, pemenung tetapi juga petualang. Pemikir tetapi juga pelamun, pemberani tetapi juga penakut, kadang – kadang optimis tetapi juga pesimis. Secara fisis, mereka memang sedang berada dalam pertumbuhan jasmani yang optimal. Pertumbuhan tumbuhnya menemukan formnya yang sebenar – benarnya dan hampir tidak akan mengalami pertumbuhan dan pertambahan lagi. Urat – uratnya, pembuluh – pembuluhnya, kelenjar – kelenjarnya tidak akan tumbuh dan bertambah lagi karena seluruhnya sudah tumbuh maksimal, lengkap dan mencapai fungsinya sebagaimana mestinya.
Kegoncangan jiwanya benar – benar merupakan batu ujian, untuk menentukan masa depannya. Kehancuran dimasa remaja ini, berarti kehancuran diseluruh dan disepanjang hidupnya, sekalipun keselamatan dimasa remaja ini belumlah berarti akan tercapainya kebahagiaan dimasa yang akan datang. Hal kehidupannya dimasa mendatang ditentukan olah apakah yang dihasilkan dan diperolehnya pada masa ujian itu.
Dalam hal ini betapa arti pentingnya kehadiran para pendidik. Salah salah, para pendidik sendiri mungkin malah menjadi sumber kahancuran mereka dimasa mendatang, apabial mereka para pendidik itu tidak memahami mereka, apabila mereka para pendidik tidak mampu menmpatkan diri didalam posisinya yang tepat.
Pada masa ini para remaja harus sudah sampai kepada taraf menjawab tantangan “Bagaimana kita harus ber pancasila”. Apa pancasila dan mengapa harus berpancasila harus benar – benar sudah dikuasai, supaya dapat ditingkatkan kepada Bagaimana. Ini berarti mereka bukan saja hafal, tahu, atau mengerti, melainkan harus sudah meghayati apa pancasila itu, sebagai bahan untuk dapat menjawab bagaimana ber pancasila itu, yang berarti bagaimana mereka harus berbuat dalam kehidupan sehari – hari sebagai individu yang berkepribadian pancasilais. Disinilah baru tepat – tepatnya pengetahuan pengetahuan tentang pancasila seperti yang ditulis didalam bahan PMP itu ada gunanya, yaitu sebagai pedoman. Bukan sebagai kitab suci, melaikan sekedar sebagai pedomannya. Kepandaian dan kecakapan guru untuk menyesuaikan keadaan lingkungan masih sangat diharapkan demi terkuasainya pengetahuan itu sedalam – dalamnya. Kemampuan anak untuk berfikir abstrak sudah dapat diandalkan, sekalipun masih perlu untuk berlaku berhati – hati dan teliti, mengingat keadaan jiwanya yang sedang mengelora.

d.      Sedangkan umur 24 tahun ini sudah berada dalam tingkat dewasa.
Ia sudah dapat bertanggung jawab sendiri atas apa yang ia lakukan. Kepribadian pancasilanya harus sudah terpancar dalam sikap, tindakan, dan cara berfikirnya. Mereka para calon konselor tidak ada lain lagi tantangannya kecuali kesanggupan untuk mengamalkan kepribadian pancasilanya dalam kehidupan sehari - hari. Bahkan akan tumbuh menjadi seorang pemimpin atau tidakkah mereka itu, bukan harus diuji dengan kemahirannya untuk berverbal – verbalan dengan kata pancasila, melainkan dilihat dari berbagai tata kehidupannya dalam keluarga, bagaimana kehidupannya ditengah – tengah masyarakat, bagaimana sikapnya terhadap orang yang mampu, dimanapun dalam keadaan apapun. Kekayaan pengetauan dalam suatu bidang bukanlah syarat sebagai seorang calon konselor yang pancasilais.
Calon konselor yang pancasilais adalah bukan mereka yang berani dan berhasil menentang arus, melainkan mereka yang dapat mengendalikan urus untuk diambil manfaatnya untuk dipergunakan bagi kehidupan masyarakat luas. Keliru menempatkan seseorang sebagai calon konselor yang pancasilais, bukan hanya akan merugikan klainnya saja melainkan akan merugikan suatu bangsa ataubahkan seluruh kehidupan manusia.
Penelaah secara filosofis secara lebih luas dan mendalam serta cara yang praktis dalam pengalaman dan penanamannya kepada adik – adik dan anak – anaknya mulai pula dapat diserahkan kepada mereka para mahasiswa ini justru dalam kedudukannya sebagai generasi penerus.
Selama kurang lebih 18 tahun para mahasiswa calon konselor ini digodog dalam kepribadian pancasila, sehingga tidak ada alasan lagi untuk tidak dapat melaksanakan dalam bentuk amalan. Amalan ilmiah dan ilmu yang amaliyah adalah semboyannya sehari – hari didalam melaksanakan Tridarma Perguruan Tingginya. Sekedar menumpuk ilmu yanga berlebihan sementara ia sendiri tidak mampu mengorganisasikan pengetahuannya untuk dapat diamalkan, seperti keadaan nyata seperti ini., yaitu pengangguran intelektual, hanya kan menambah beban masyarakat, yang seharusnya dipimpin. Bukanyan menuntut untuk mendapatkan kesempatan untuk bekerja . merekalah yang seharusnya dapat dimintai bantuan untuk membuka lapangan pekerjaan bagi mereka yang membutuhkan yaitu dengan mengamalkan ilmu pengetahuan yang ia miliki. Tegasnya mereka harus berani berswakarya, berwiraswasta, mendireng pribadi, membantu melancarkan jalanya pembangunan secara professional.

F.      Definisi Konselor
Profil yang menampilkan ciri – ciri seorang konselor yang dikenal sejak lama. Tahun 1994 Graves telah menunjukkan bahwa seorang konselor hendaknya memiliki integritas dan vitalitas, gesit, dan terampil, memiliki kemampuan menilai dan memperkirakan secara tajam, standar personal yang tinggi, terlatih dan berpengalaman luas. Dowson (1948) melihat bahwa konselor perlu memiliki ciri – ciri objektif, menghormati anak, memahami dirinya sendiri, matang dalam menilai dan memperkirakan, mampu mendengar dan menyimpan rahasia, merupakan manusia sumber, teguh dalam pendirian, mempunyai rasa humor, mampu mengeritik secara membangun, serta memiliki kepribadian yang matang dan terintegrasikan. Pada waktu itu telah juga dikenal 24 ciri yang menonjol dari seorang konselor, diantaranya: jujur, setia, sehat, berkepribadian dan berwatak baik, memiliki falsafat hidup yang mantap serta memiliki sikap bahwa apa yang dilakukannya itu (yaitu pekerjaan konseling) merupakan suatu hal yang harus dilakukannya.
Konselor juga digambarkan sebagai orang yang memiliki sifat – sifat kewanitaan atau keibuan (Farson, 1954) seperti lembut, menyenangkan, suka memberi dan tidak banyak menuntut, dan sebagainya. Rumusan yang diberikan oleh ASCA (1964) tentang sifat dasar pekerjaan konselor ialah sebagai “misi dengan keterkaitannya yang mendalam terhadap nilai – nilai kemausiaan”.
Jadi definisi dari Konselor adalah seorang yang mempunyai keahlian dalam melakukan konseling. Biasanya berlatar belakang pendidikan minimal sarjana strata 1 (S1) dari jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (PPB), Bimbingan Konseling (BK), atau Bimbingan Penyuluhan (BP). Mempunyai organisasi profesi bernama Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia (ABKIN).
Melalui proses sertifikasi, asosiasi ini memberikan lisensi bagi para konselor tertentu sebagai tanda bahwa yang bersangkutan berwenang menyelenggarakan konseling dan pelatihan bagi masyarakat umum secara resmi.
Konselor bergerak terutama dalam konseling di bidang pendidikan, tapi juga merambah pada bidang industri dan organisasi, penanganan korban bencana, dan konseling secara umum di masyarakat. Khusus bagi konselor pendidikan yang bertugas dan bertanggungjawab memberikan layanan bimbingan dan konseling kepada peserta didik di satuan pendidikan (sering disebut Guru BP/BK atau Guru Pembimbing), ia tidak diwajibkan mempunyai sertifikat terlebih dulu.

G.    Gambaran konselor yang pancasilais
Jadi calon konselor yang pancasilais adalah orang yang memiliki keahlian dalam melakukan konseling dan mampu menerapkan tiap butir dari tiap – tiap sila yang ada dalam pancasila secara keseluruhan tanpa harus terpisah dan mesti diterapkan dalam kehidupan sehari – hari maupun pada waktu melakukan proses konseling. Isi dari butir – butir dari tiap – tiap sila tersebut diantaranya adalah:
a.       Sila pertama
Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa, jadi seorang konselor yang pancasilais harus:
1.      Percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing – masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
2.      Mampu mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda – beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
3.      Mampu membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
4.      Mampu mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing – masing.
5.      Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
b.      Sila kedua
Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Jadi konselor yang pancasilais harus:
1.      Mau mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda – bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
2.      Mampu mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
3.      Mampu mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
4.      Mampu mengembangkan sikap tidak semena – mena terhadap orang lain.
5.      Mau menjunjung tinggi nilai – nilai kemanusiaan.
6.      Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
7.      Berani membela kebenaran dan keadilan.
8.      Mampu mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.

c.       Sila ketiga
Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan. Jadi konselor yang pancasilai harus:
1.      Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
2.      Mampu mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
3.      Mampu mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
4.      Berusaha membantu memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
5.      Mampu mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
6.      Dapat memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
d.      Sila keempat
Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. Jadi konselor yang pancasilais:
1.      Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
2.      Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
3.      Musyawarah untuk mencapai mufakat di liputi oleh semangat kekeluargaan.
4.      Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
5.      Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
6.      Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
7.      Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
8.      Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai – nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
9.      Memberikan kepercayaan kepada wakil – wakil yang dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan.
e.       Sila kelima
Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan. Jadi konselor yang pancasilais harus:
1.      Mampu mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
2.      Mampu menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
3.      Mampu menghormati hak orang lain.
4.      Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
5.      Tidak menggunakan hak milik untuk usaha – usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain.
6.      Tidak menggunakan hak milik untuk hal – hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.
7.      Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
8.      Suka bekerja keras.
9.      Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
10.  Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.






DAFTAR PUSTAKA

2.      Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.

3.      Sujanto Agus dkk. 2009. Psikologi Kepribadian. Jakarta:Bumi Aksara.