Meneladani Akhlak Bernegara Rasulullah SAW



Bab I
Pendahuluan

A. Latar Belakang

Modernisasi zaman yang semakin berkembang dari waktu ke waktu menutut manusia untuk memahami akhlak secara essensial , dalam arti bahwa manusia memahami akhlak bukan hanya sebagai sikap / perilaku saja . Melainkan , akhlak tersebut di implementasikan dalam kehidupan sehari – hari .



Dalam bahasan kami kali ini adalah akhlak bernegara , akhlah ini perlu untuk disadari oleh kita agar kita dapat menjadi semakin sensitif terhadap persoalan yang terjadi pada bangsa dan negara kita. Bukan hanya Hal ini didorong dengan kekhawatiran akan bobroknya generasi kita , apabila tidak dibekali dengan pengetahuan tentang akhlak yang cukup , untuk menjalani kehidupan kedepannya.

Dengan demikian , kami dari kelompok 9 dalam paper kami kali ini akan membahas beberapa sub-bab dari materi Akhlak Bernegara ini , adapun sub-babnya antara lain :

- Musyawarah
- Menegakkan Keadilan
- Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
- Hubungan Pemimpin dan yang dipimpin

Tetapi sebelum memasuki sub-bab tersebut , ada baiknya kita mengenal definisi dari akhlak tersebut , Akhlak berasal dari kata “akhlaq” yang merupakan jama’ dari “khulqu” dari bahasa Arab yang artinya perangai, budi, tabiat dan adab.

Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan , bahwa Akhlak merupakan sikap / tabiat dari seseorang . Dalam akhlak bernegara , tentunya menggambarkan sikap seseorang terhadap bangsa dan negaranya , sikap tersebut menunjukkan jati diri dari orang tersebut .

Dan nantinya dalam pembahasan , kami akan lebih mendalami sub-bab yang telah diberikan kepada kelompok kami . Dalam akhlak bernegara ini, sikap dan perilaku seseorang akan terlihat pada saat , misalnya melakukan musyawarah .

Tentunya dalam menyelesaikan suatu masalah akan diperlukan musyawarah untuk mufakat , yakni suatu sistem yang telah digunakan oleh Nabi Muhammad SAW sejak dahulu untuk menyelesaikan persoalan , dalam pendalaman pembahasan ini kami akan memperlihatkan cara – cara bermusyawarah yang baik dan benar menurut tuntunan Al-Qur’an dan Hadist .

B. Batasan Masalah

Masalah yang akan kami bahas dalam paper kali ini mengenai impelementasi dan dasar Al-Qur’an dan Hadist mengenai akhlak bernegara yang terbagi kedalam empat sub-bab diatas . Tentunya tujuan pembuatan paper ini , agar dalam membangun suatu generasi yang Islami , dimulai dengan memahami ilmunya terlebih dahulu .

Hal ini dilakukan untuk dapat membedakan yang mana baik dan buruk dari suatu hal , sehingga implementasi dari konsep tersebut dapat dijalankan dengan sungguh – sungguh dan penuh optimisme.


Bab II
Pembahasan

Sesungguhnya , akhlak adalah nilai pemikiran yang telah menjadi sikap mental yang mengakar dalam jiwa, lalu tampak dalam bentuk tindakan dan perilaku yang bersifat tetap, natural, dan refleks. Jadi, jika nilai islam mencakup semua sektor kehidupan manusia, maka perintah beramal shalih pun mencakup semua sektor kehidupan manusia.

Tentunya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diperlukan pengertian akhlak bernegara ini untuk membuat diri kita ‘kebal’ terhadap kebatilan yang nantinya akan menggoda iman kita , dalam melaksanakan bakti kita kepada negara.

A. Musyawarah

Kata ( شورى ) Syûrâ terambil dari kata ( شاورة- مشاورة- إستشاورة) menjadi ( شورى ) Syûrâ. Kata Syûrâ bermakna mengambil dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan menghadapkan satu pendapat dengan pendapat yang lain.Dalam Lisanul ‘Arab berarti memetik dari serbuknya dan wadahnya. Kata ini terambil dari kalimat (شرت العسل) saya mengeluarkan madu dari wadahnya.

Berarti mempersamakan pendapat yang terbaik dengan madu, dan bermusyawarah adalah upaya meraih madu itu dimanapun ia ditemukan, atau dengan kata lain, pendapat siapapun yang dinilai benar tanpa mempertimbangkan siapa yang menyampaikannya. Musyawarah dapat berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu.

Adapun salah satu ayat dalam Al – Qur’an yang membahas mengenai Musyawarah adalah surah Al-Syura ayat 38:

وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy-Syura: 38)

Dalam ayat diatas , syura atau musyawarah sebagai sifat ketiga bagi masyarakat Islam dituturkan setelah iman dan shalat . Menurut Taufiq asy-Syawi , hal ini memberi pengertian bahwa musyawarah mempunyai martabat setelah ibadah terpenting , yakni shalat , sekaligus memberi pengertian bahwa musyawarah merupakan salah satu ibadah yang tingkatannya sama dengan shalat dan zakat . Maka masyarakat yang mengabaikannya dianggap sebagai masyarakat yang tidak menetapi salah satu ibadah .

Memang , musyawarah sangat diperlukan untuk dapat mengambil keputusan yang paling baik disamping untuk memperkokoh rasa persatuan dan rasa tanggung jawab bersama . Ali Bin Abi Thalib menyebutkan bahwa dalam musyawarah terdapat tujuh hal penting yaitu , mengambil kesimpulan yang benar , mencari pendapat , menjaga kekeliruan , menghindari celaan , menciptakan stabilitas emosi , keterpaduan hati , mengikuti atsar.

a. Hal – Hal yang Boleh di Musyawarahkan

Islam memberikan batasan – batasan hal – hal apa saja yang boleh dimusyawarahkan . Karena musyawarah adalah pendapat orang, maka apa – apa yang sudah ditetapkan oleh nash (Al – Qur’an dan As-Sunnah) tidak boleh dimusyawarahkan , sebab pendapat orang tidak boleh mengungguli wahyu.

Jadi musyawarah hanyalah terbatas pada hal – hal yang bersifat Ijtihadiyah . Para sahabat pun kalau dimintai pendapat mengenai suatu hal , terlebih dahulu mereka bertanya kepada Rasulullah SAW . Apakah masalah yang dibicarakan telah diwahyukan oleh Allah atau merupakan Ijtihad Nabi . Jika pada kenyataannya adalah ijtihad Nabi , maka mereka mengemukakan pendapat .

Masalah – masalah ijtihadiyah diungkapkan dalam Al – Qur’an dengan kata Al – Amr . Istilah amruhum disini berarti masalah bersama atau ‘common problems’ , yaitu masalah – masalah yang menyangkut kepentingan nasib atau anggota masyarakat yang bersangkutan .

b. Tata Cara Musyawarah

Rasulullah mempunyai tata cara bermusyawarah yang sangat bervariasi ; (1) Kadang kala seseorang memberikan pertimbangan kepada beliau , lalu beliau melihat pendapat itu benar , maka beliau mengamalkannya (2) Kadang – kadang beliau bermusyawarah dengan dua atau tiga orang saja (3) Kadang kala beliau juga bermusyawarah dengan seluruh massa melalui cara perwaklian .

Dari beberapa tata cara bermusyawarah Rasulullah diatas kita dapat menyimpulkan bahwa tatacara musyawarah , anggota musyawarah bias selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman , tetapi hakekat musyawarah harus selalu tegak ditengah masyarakat dan Negara .

Adapun hal – hal yang harus dimusyawarahkan dengan seluruh umat , baik langsung maupun lewat perwakilan , dan ada hal – hal yang cukup dimusyawarahkan dengan pemimpin (ulil amri) , ulama , cendekiawan , dan pihak - pihak berkompeten lainnya , tetapi tetap dan tidak boleh tidak harus dengan semangat kebenaran dan kejujuran . Yang dicari dalam musyawarah adalah kebenaran bukan kemenangan .

c. Sikap Bermusyawarah

Supaya musyawarah dapat berjalan dengan lancar dan penuh persahabatan , firman Allah dalm surat Ali Imran ayat 159 :

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu . Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Ali Imran : 159)
Dapat kita lihat Allah SWT mengisyaratkan ada beberapa sikap yang harus dilakukan dalam bermusyawarah , yaitu sikap lemah lembut , pemaaf , dan memohon ampunan Allah SWT .

1. Lemah Lembut

Seseorang yang melakukan musyawarah , apalagi sebagai pimpinan harus menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala , karena jika tidak , mitra musyawarah akan tidak menghormati pemimpin musyawarah.

2. Pemaaf

Setiap orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu bersedia member maaf . Karena mungkin saja ketika musyawarah terjadi perbedaan pendapat , atau keluar kalimat – kalimat yang menyinggung pihak lain . Dan bila itu masuk kedalam hati , akan mengeruhkan pikiran , bahkan boleh jadi musyawarah berubah menjadi pertengkaran .

3. Mohon Ampunan Allah SWT

Untuk mencapai hasil yang terbaik ketika musyawarah , hubungan dengan Tuhan pun harus harmonis . Oleh sebab itu , semua anggota musyawarah harus senantiasa membersihkan diri dengan cara memohon ampun kepada Allah SWT baik untuk diri sendiri , maupun anggota musyawarah lainnya .

B. Menegangkan Keadilan

Istilah keadilan berasal dari kata ‘adl (Bahasa Arab), yang mempunyai arti antara lain sama dan seimbang. Dalam pengertian pertama, keadilan dapat diartikan sebagai membagi sama banyak, atau memberikan hak yang sama kepada orang-orang atau kelompok. Dengan status yang sama. Misalnya semua pegawai dengan kompetensi akademis dan pengalaman kerja yang sama berhak mendapatkan gaji dan tunjangan yang sama. Semua warga negara – sekalipun dengan status sosial – ekonomi – politik yang berbeda-beda – mendapatkan perlakuan yang sama dimata hukum.

Dalam pengertian kedua, keadilan dapat diartikan dengan memberikan hak seimbang dengan kewajiban, atau memberi seseorang sesuai dengan kebutuhannya. Misalnya orang tua yang adil akan membiayai pendidikan anak-anaknya sesuai dengan tingkat kebutuhan masing-masing sekalipun secara nominal masing-masing anak tidak mendapatkan jumlah yang sama. Dalam hukum waris misalnya, anak laki-laki ditetapkan oleh Al-Qur’an (QS. An-Nisa’ 4:11) mendapatkan warisan dua kali bagian anak perempuan. Hal itu karena anak laki-laki setelah berkeluarga menanggung kewajiban membiayai hidup isteri dan anak-anaknya, sementara anak perempuan setelah berkeluarga dibiayai oleh suaminya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adil diartikan (1) tidak berat sebelah; tidak memihak; (2) berpihak kepada yang benar; berpegang pada kebenaran; dan (3) sepatunya; tidak sewenang-wenang. Beberapa pengertian ini tetap berangkat dari dua makna kata adil diatas. Dengan prinsip persamaan seorang yang adil tidak akan memihak kecuali kepada yang benar. Dan dengan azas keseimbangan seorang yang adil berbuat atau memutuskan sesuatu dengan sepatunya dan tidak bertindak sewenang-wenang.

Disamping menggunakan kata ‘adl Al-Qur’an juga menggunakan kata qisbth dan mizan untuk pengertian yang sama. Misalnya dalam dua ayat berikut ini :

“Katakanlah, “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan.”(QS. Al-A’raf 7: 29)

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksankan keadilan..”(QS. Al-Hadid 57:25).

a. Perintah Berlaku Adil

Di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang memerintahkan supaya manusia berlaku adil dan menegakkan keadilan. Perintah itu ada yang bersifat umum dan ada yang khusus dalam bidang-bidang tertentu. Yang bersifat umum misalnya :

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl 16:90)

Sedangkan yang bersifat khusus misalnya bersikap adil dalam menegakkan hukum (QS. An-Nisa’ 4: 58); adil dalam mendamaikan conflik (QS. Al-Hujurat 49:9); adil terhadap musuh (QS. Al-Maidah : 8) adil dalam rumah tangga (QS. An-Nisa’ 4:3 dan 129); dan adil dalam berkata (QS. Al-An’am 6:152).

b. Keadilan Hukum

Islam mengajarkan bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama dan sederajat dalam hukum, tidak ada diskriminasi hukum karena perbedaan kulit, status sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Allah menegaskan :

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa’4:58).

Keadilan hukum harus ditegakkan walaupun terhadap diri sendiri, atau terhadap keluarga dan orang-orang yang dicintai. Tatkala seorang sahabat yang dekat dengan Rasulullah SAW meminta “keistimewaan” hubungan untuk seorang wanita bangsawan yang mencuri, Rasulullah menolaknya dengan tegas:

“Apakah anda hendak meminta “keistimewaan” dalam pelaksanaan hukum Allah? Sesungguhnya kehancuran ummat yang terdahulu karena mereka menghukum pencuri yang lemah, dan membiarkan pencuri yang elit. Demi Allah yang memelihara jiwa saya, kaulah Fatimah binti Muhammad mencuri, pastilah Muhammad akan memotong tangan puterinya itu.”(HR. Ahmad, Muslim dan Nasa’i)

Mengingat pentingnya menengakkan keadilan itu menurut ajaran Islam, maka orang yang diangkat menjadi hakim haruslah yang betul-betul memenuhi syarat keahlian dan kepribadian. Kecuali mempunyai ilmu yang luas, dia juga haruslah seorang yang taat kepada Allah, mempunyai akhlaq yang mulia, terutama kejujuran atau amanah. Apabila hakim itu seorang yang lemah, maka dia mudah dipengaruhi, ditekan dan disuap. Akibatnya orang-orang yang bersalah dibebaskan dari hukumnya, sekalipun kesalahan atau kejahatannya sangat merugikan masyarakat dan negara.

Rasulullah SAW bersabda dari tiga orang hakim dua akan masuk neraka dan hanya satu yang masuk sorga. Hakim yang masuk neraka adalah 1). Hakim yang menjatuhkan hukuman dengan cara yang tidak adil, bertentangan dengan hati nuraninya, bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, sedang dia sendiri mengetahui dan menyadari perbuatannya itu; 2). Hakim yang menjatuhkan hukuman yang tidak adil karena kebodohannya. Hakim yang masuk sorga adalah hakim yang menjatuhkan hukuman berdasarkan keadilan dan kebenaran.
 
c. Keadilan dalam Segala Hal

Disamping keadilan hukum, islam memerintahkan kepada umat manusia, terutama orang-orang yang beriman untuk bersikap adil dalam segala aspek kehidupan, baik terhadap diri dan keluarganya sendiri, apalagi kepada orang lain. Bahkan kepada musuh sekalipun setiap mukmin harus dapat berlaku adil. Mari kita perhatikan beberapa nash berikut ini :

1. Adil terhadap diri sendiri

“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia (terdakwa atau tergugat itu) kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti bawa nafsu kamu ingin menyimpang dari kebenaran...”(QS. An-Nisa’4:135)

2. Adil terhadap isteri dan anak-anak

“....Kawinilah wanita-wanita yang kamu sukai dua, tiga, atau empat. Tapi jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja...”(QS. An-Nisa’ 4:3).

3. Adil dalam mendamaikan perselisihan

“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah) maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”(QS. Al-Hujurat 49:9).
4. Adil dalam berkata

“...Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat (mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu, diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (QS. Al-An’am 6:152)

5. Adil terhadap musuh sekalipun

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-sekali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al-Maidah 5:8)

Tentu masih banyak nash Al-Qur’an dan Sunnah tentang keadilan dalam seluruh aspek kehidupan yang belum penulis sebutkan dalam fasal ini karena keterbatasan ruangan, tapi cukuplah kita menyimpulkan bahwa Islam menginginkan keadilan yang komprehensif, yang mencakup keadilan politik, ekonomi, sosial dan lain-lainnya.

C. Mar Ma’ruf Nahi Munkar

Secara harfiah amar ma’ruf nahi munkar (al-amru bi ‘l-ma’ruf wa ‘n-nahyu ‘an ‘l-munkar) berarti menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.

Ma’ruf secara etimologis berarti yang dikenal, sebaliknya munkar adalah sesuatu yang tidak dikenal. Menurut Muhammad ‘Abduh, ma’ruf adalah apa yang dikenal (baik) oleh akal sehat dan hati nurani (ma ‘arafathu al-‘uqul wa ath-thaba’ as-salimah), sedangkan munkar adalah apa yang ditolak oleh akal sehat dan hati nurani (ma ankarathu al-‘uqul wa ath-thaba’ as-salimah).

Berbeda dengan Abduh, Muhammad ‘Ali ash-Shabuni mendefinisikan ma’ruf dengan “apa yang diperintahkan syara’ (agama) dan dinilai baik oleh akal sehat” (ma amara bibi asy-syara’ wa ‘stabsanahu al-‘aqlu as-salim), sedangkan munkar adalah “apa yang dilarang syara’ dan dinilai buruk oleh akal sehat” (ma naha ‘anhu asy-syara’ wa’staqbahahu al-‘aqlu as-salim).
 
Terlihat dari dua definisi diatas, bahwa yang menjadi ukuran ma’ruf atau munkarnya sesuatu ada dua, yaitu agama dan akal sehat atau hati nurani. Bisa kedua-duanya sekaligus atau salah satunya. Semua yang diperintahkan oleh agama adalah ma’ruf, begitu juga sebaliknya, semua yang dilarang oleh agama adalah munkar.

Hal-hal yang tidak ditentukan oleh agama ma’ruf dan munkarnya ditentukan oleh akal sehat atau hati nurani. Jadi waw dalam definisi Shabuni diatas berarti aw sebagaimana yang didefinisikan oleh al-Ishfahani: “Ma’ruf adalah sebuah anma untuk semua perbuatan yang dikenal baiknya melalui akal atau syara’, dan munkar adalah apa yang ditolak oleh keduanya” (Wa al-ma’ruf ismun likulli fi’lin yu’rafu bi al-‘aqli aw as-syari’ husnuhu, wa al-munkar ma yunkaru bihima.

Dengan pengertian diatas tentu ruang lingkup yang ma’ruf dan munkar sangat luas sekali, baik dalam aspek aqidah, ibadah, akhlaq maupun mu’amalat (sosial, politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni budaya, dlsb). Tauhidullah, mendirikan shalat, membayar zakat, amanah, toleransi beragama, membantu kaum dhu’afa’ dan mustadh’afin, disiplin, transparan dan lain sebagainya adalah beberapa contoh sikap dan perbuatan yang ma’ruf. Sebaliknya bahu-membahu dalam menjalankannya. Dalam hal ini Allah menjelaskan :

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah 9:71)

Dalam ayat diatas juga dapat kita lihat bahwa kewajiban amar ma’ruf nahi munkar tidak hanya dipikulkan kepada kaum laki-laki tapi juga kepada kaum perempuan, walaupun dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan kodrat dan fungsi masing-masing.

Jika umat Islam ingin mendapatkan kedudukan yang kokoh di atas permukaan bumi, disamping mendirikan shalat dan membayar zakat mereka harus melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Allah SWT berfirman :

“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.”(QS. Al-Haji 22:41)

Muhammad Asad, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syafii Maarif, mengartikan ungkapan in makkannahum fi ‘l ardhi dengan if We firmly establish them on earth” (manakala Kami kokohkan posisi mereka di muka bumi”. Kedudukan yang kokoh artinya punya kekuasaan politik maupun ekonomi.

Jika umat Islam mengabaikan amar ma’ruf nahi munkar, maka hal itu tidak hanya akan membuat mereka kehilangan posisi yang kokoh diatas permukaan bumi, tapi juga akan mendapat kutukan dari Allah SWT sebagaimana Allah dulu mengutuk Bani Israil. Allah berfirman :

“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan “Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalul melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS. Al-Maidah 5: 78-79)

Mereka dikutuk terutama karena mereka satu sama lain tidak melarang tindakan munkar yang mereka lakukan, bukan karena mereka Bani Israil. Sebab Bani Israil (Ahlul Kitab) yang masuk Islam dan setelah itu melakukan amar ma’ruf nahi munkar dipuji oleh Allah sebagai ornag-orang yang saleh. Allah berfirman :

“Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud. Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada pelbagai kebajikan. Mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.” (QS. Ali Imran : 113-114).

Nahi Munkar

Dibandingkan dengan amar ma’ruf, nahi munkar lebih berat karena berisiko tinggi, apalagi bila dilakukan terhadap penguasa yang zalim. Oleh karena itu Rasulullah SAW sangat memuliakan orang-orang yang memiliki keberanian menyatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim. Beliau bersabda:
“Jihad yang paling utama ialah menyampaikan al-baq terhadap penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud, Trimizi dan Ibn Majah)

Nahi munkar dilakukan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Bagi yang mampu melakukan dengan tangan (kekuasaannya) dia harus menggunakan kekuasaannya itu, apalagi tidak bisa dengan kata-kata, dan bila dengan kata-kata juga tidak mampu paling kurang menolak dengan hatinya. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda :

“Barangsiapa diantara kamu melihat kemunkaran, hendaklah dia merobahnya dengan tangannya. Kalau tidak sanggup (dengan tangan, maka robahlah) dengan lisannya. Dan apabla tidak sanggup (dengan lisan), maka robahlah dengan hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim).

D. Hubungan Pemimpin Dan Yang Dipimpin

Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah SWT adalah pemimpin orang-orang yang beriman :

“Allah Pemimpin orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang yang kafir, pemimpin-pemimpin mereka adalah thaghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah 2:257)

Azh-zhulumat (kegelapan) dalam ayat diatas adalah simbol dari segala bentuk kekufuran, kemusyrikan, kefasikan dan kemaksiatan. Atau dalam bahasa sekarang azh-zhulumat adalah bermacam-macam ideologi dan isme-isme yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti komunisme, sosialisme, kapitalisme, liberalisme, materialisme, hedonisme dan lain sebagainya. Sedangkan an-Nur adalah simbol dari ketauhidan, keimanan, ketaatan dan segala kebaikan lainnya.

At-thaghut adalah segala sesuatu yang disembah (dipertuhan) selain dari Allah SWT dan dia suka diperlakukan sebagai Tuhan tersebut. Menurut Sayyid Qutub, Thaghut adalah segala sesuatu yang menentang kebenaran dan melanggar batas yang telah digariskan oleh Allah SWT untuk hamba-Nya. Dia bisa berbentuk pandangan hidup, peradaban dan lain-lain yang tidak berlandaskan ajaran Allah SWT.
Secara operasional kepemimpinan Allah SWT itu dilaksanakan oleh Rasulullah SAW, dan sepeninggal beliau kepemimpinan itu dilaksanakan oleh orang-orang yang beriman. Hal itu dinyatakan di dalam Al-Qur’an :

Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). (Al – Maidah : 55 )

a. Kriteria Pemimpin dalam Islam

Pemimpin umat atau dalam ayat diatas di istilahkan dengan waliy dan dalam ayat lain (Q.S An-Nisa 4:59) disebut dengan Ulil Amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah SAW setelah beliau meninggal dunia .
Orang – orang yang dapat dipilih menggantikan beliau sebagai pemimpin minimal harus memenuhi empat kriteria sebagaimana dijelaskan dalam surat Al – Maidah ayat 55 .

1. Beriman kepada Allah SWT

Karena Ulil Amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah SAW , sedangkan Rasulullaj sendiri adalah pelaksana kepemimpinan Allah SWT , maka tentu saja yang pertama kali harus dimiliki penerus beliau adalah Keimanan . Tanpa Keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya bagaimana mungkin pemimpin dapat diharapkan memimpin umat menempuh jalan Allah diatas permukaan bumi ini .

2. Mendirikan Shalat

Shalat adalah ibadah Vertikal langsung kepada Allah SWT . Seorang pemimpin yang mendirikan shalat diharapkan memiliki hubungan vertical yang baik dengan Allah SWT . Diharapkan nilai – nilai kemuliaan dan kebaikan yang terdapat dalam shalat dapat tercermin dalam kepemimpinannya.

3. Membayarkan Zakat

Zakat adalah ibadah madhdhah yang merupakan simbol kesucian dan kepedulian social . Seorang pemimpin yang berzakat diharapkan selalu berusaha mensucikan hati dan hartanya . Dia tidak mencari dan menikmati harta dengan cara yang tidak halal (mis : Korupsi , Kolusi , dan Nepotisme ) . Dan lebih dari pada itu dia memiliki kepedulian social yang tinggi terhadap kaum dhu’afa dan mustadh’afin . Dia akan menjadi pembela orang – orang yang lemah .

4. Selalu Tunduk Patuh kepada Allah SWT

Dalam ayat diatas disebutkan pemimpin itu haruslah orang selalu ruku’ . Ruku’ adalah simbol kepatuhan secara mutlak kepada Allah SWT dan Rasul-Nya yang secara konkret dimanifestasikan dengan menjadi seorang muslim yang kaffah , baik dalam aspek aqidah , ibadah , akhlaq maupun muamalat . Aqidahnya benar , ibadahnya tertib , dan sesuai tuntutan Nabi , akhlaknya terpuji , dan muamalatnya tidak bertentangan dengan syariat .

b. Konsep Leader is a Ladder

Konsep ini merupakan konsep Hubungan Pemimpin dan yang dipimpin yang merupakan hasil ijtihad dari penulis , dimana Konsep Leader is a Ladder merupakan konsep dimana seorang pemimpin merupakan sebuah tangga yang akan menjadi perantara atau jembatan bagi calon pemimpin selanjutnya .

Pemimpin yang baik disini adalah pemimpin yang mencetak sebanyak mungkin calon Pemimpin , yang nantinya dapat melanjutkan kepemimpinan selanjutnya dengan lebih baik dan lebih matang .

Konsep ini diterapkan agar pemimpin menjadi panutan dan teladan bagi bawahannya dan Menurut James A.F Stonen, terdapat tujuh tugas utama seorang pemimpin adalah :

1. Pemimpin bekerja dengan orang lain : Seorang pemimpin bertanggung jawab untuk bekerja dengan orang lain, salah satu dengan atasannya, staf, teman sekerja atau atasan lain dalam organjsasi sebaik orang diluar organisasi.

2. Pemimpin adalah tanggung jawab dan mempertanggungjawabkan (akontabilitas): Seorang pemimpin bertanggungjawab untuk menyusun tugas menjalankan tugas, mengadakan evaluasi, untuk mencapai outcome yang terbaik. Pemimpin bertanggung jawab untuk kesuksesan stafhya tanpa kegagalan.

3. Pemimpin menyeimbangkan pencapaian tujuan dan prioritas : Proses kepemimpinan dibatasi sumber, jadi pemimpin hanya dapat menyusun tugas dengan mendahulukan prioritas. Dalam upaya pencapaian tujuan pemimpin harus dapat mendelegasikan tugas- tugasnya kepada staf. Kemudian pemimpin harus dapat mengatur waktu secara efektif,dan menyelesaikan masalah secara efektif.

4. Pemimpin harus berpikir secara analitis dan konseptual : Seorang pemimpin harus menjadi seorang pemikir yang analitis dan konseptual. Selanjutnya dapat mengidentifikasi masalah dengan akurat. Pemimpin harus dapat menguraikan seluruh pekerjaan menjadf lebih jelas dan kaitannya dengan pekerjaan lain.

5. Manajer adalah forcing mediator : Konflik selalu terjadi pada setiap tim dan organisasi. Oleh karena itu, pemimpin harus dapat menjadi seorang mediator (penengah).

6. Pemimpin adalah politisi dan diplomat: Seorang pemimpin harus mampu mengajak dan melakukan kompromi. Sebagai seorang diplomat, seorang pemimpin harus dapat mewakili tim atau organisasinya.

7. Pemimpin membuat keputusan yang sulit : Seorang pemimpin harus dapat memecahkan masalah.

Dari ketujuh hal inilah yang harusnya pemimpin terapkan dalam tugasnya memimpin orang - orang , dan setelah hal ini diimplementasikan maka seorang pemimpin wajib untuk 'menurunkan ilmu' nya ini kepada bawahannya . Agar bawahannya ini kelak akan menjadi pemimpin yang dapat menjalankan tugasnya kelak.

Adapun hambatan yang dihadapi ketika ingin menerapkan
1. Egois : kenapa Egois , karena kebanyakan para pemimpin hanya mau dia sajalah merasakan bangku kepemimpinan tersebut , tanpa harus memikirkan orang setelahnya yang akan menduduki posisi pimpinan tersebut . Sehingga mereka terlalu 'masa bodoh' dengan bawahannya.

2. Sombong : penyakit kekuasaan yang satu ini tentunya telah mengakar sejak zaman dahulu kala , penyakit kesombongan karena merasa sudah diatas sehingga melupakan bawahannya . Hal ini menggambarkan bahwa seorang pemimpin tidak sepantasnya bersikap sombong , karena pemimpin bagaikan tangga maka pemimpin harus menjadi fasilitator.

3. Iri dan Dengki : walaupun sudah menjadi pemimpin , penyakit iri dan dengki masih saja menjangkiti para pemimpin . Sebagian kecil dari pemimpin tersebut masih saja iri melihat bawahannya yang mendapatkan jatah lebih banyak dari dirinya . Maka si pemimpin akan iri terhadap bawahannya , dan mengambil jatah bawahannya.
 
c. Persaudaraan antara Pemimpin dan yang Dipimpin

Sekalipun dalam struktur bernegara ada hirarki kepemimpinan yang mengharuskan umat atau takyat patuh kepada pemimpinnya , tetapi dalam pergaulan sehari – hari hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin tetaplah dilandaskan kepada prinsip – prinsip ukhuwah islamiyah , bukan prinsip – prinsip atasan dengan bawahan . Demikianlah yang dicontohkan Rasulullah SAW.

Kaum Muslimin yang berada di sekitat beliau waktu itu dipanggil dengan sebutan sahabat – sahabat , suatu panggilan yang menujukkan hubungan yang horizontal , sekalipun ada kewajiban patuh secara mutlak kepada beliau sebagai seorang Nabi dan Rasul .

Hubungan persaudaraan seperti itu dalam praktiknya tidaklah melemahkan kepemimpinan Rasulullah SAW , tetapi malah memperkokoh , karena tidak hanya didasari hubungan Formal , tapi juga hubungan hati yang dipenuhi kasih sayang .

Bab III
Penutup

A. Kesimpulan

Dari keempat pembahasan pokok diatas , ialah Kepemimpinan merupakan sesuatu yang sangat penting dan sangat esensial dalam sikap yang ditunjukkan dalam Akhlak Bernegara ini . Adapun kriteria pemimpin yang sangat dibutuhkan disini adalah pemimpin yang ideal , dimana kriteria pemimpin ideal telah diungkapkan dalam surat Al – Maidah ayat 55 , yang tentunya menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan kepemimpinan yang terbaik .

Dalam memahami materinya , hendaknya kita memahami secara keseluruhan tidak secara terpisah . Dikarenakan materi ini sangat terkait satu sama lain dan saling mendukung . Seorang Pemimpin yang baik dan mempunyai Akhlak adalah Pemimpin yang suka bermusyawarah , perbuatan dan tindakannya Ma’ruf Nahi Mungkar , senantiasa menegakkan keadilan , dan tentunya mempunyai hubungan yang baik dengan bawahannya .

Komponen – komponen inilah yang mendasari kokohnya Akhlak seorang Negarawan , yang tentunya apabila diterapkan dengan sungguh – sungguh akan menjadi Rahmatan Lil Alamin.

Daftar Pustaka

Asy – Syawi , Taufiq . Syura bukan Demokrasi , terjemahan Djamaluddin Z.S. Jakarta L Gema Insani Press , 1997.

Ilyas Yunahar , Drs. ,Lc. , M.A. Kuliah Akhlaq . Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset , 2000.

Mukti , Takdir dkk. (ed.) . Membangun Moralitas Bangsa . Yogyakarta : LPPI UMY , 1998.

http://www.gudangmateri.com/2009/10/akhlak.html ; tanggal akses : 5 Agustus 2010

http://www.gudangmateri.com/2010/08/musyawarah-dalam-islam.html ; tanggal akses : 5 Agustus 2010



artikel terkait :