Demokrasi liberal (atau demokrasi konstitusional) adalah
sistem politik yang melindungi secara konstitusional hak-hak individu dari
kekuasaan pemerintah. Dalam demokrasi liberal, keputusan-keputusan mayoritas
(dari proses perwakilan atau langsung) diberlakukan pada sebagian besar
bidang-bidang kebijakan pemerintah yang tunduk pada pembatasan-pembatasan agar
keputusan pemerintah tidak melanggar kemerdekaan dan hak-hak individu seperti
tercantum dalam konstitusi.
Di awal pelaksanaan demokrasi liberal di tandai dengan
keluarnya Maklumat No. X pada 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Hatta.
Dalam maklumat ini dinyatakan perlunya berdirinya partai-partai politik sebagai
bagian dari demokrasi, yang merupakan ciri khas dari demokrasi liberal yaitu
multi partai. Kemudiaan pemerintah menyelenggarakan pemilu pada Januari 1946.
Maklumat Hatta berdampak sangat luas, melegitimasi partai-partai politik yang
telah terbentuk sebelumnya dan mendorong terus lahirnya partai-partai politik
baru.
Pada tahun 1953 Kabinet Wilopo berhasil menyelesaikan
regulasi pemilu dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953 Pemilu. Pemilu multi
partai secara nasional disepakati dilaksanakan pada 29 September 1955 (untuk
pemiilhan parlemen) dan 15 Desember 1955 (untuk pemilihan anggota
konstituante).
Pemilihan Umum Indonesia 1955 adalah pemilihan umum pertama
di Indonesia. Pemilu ini sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia yang paling
demokratis. Pemilu tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih
kurang kondusif; beberapa daerah dirundung kekacauan oleh DI/TII (Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia) khususnya pimpinan Kartosuwiryo. Dalam keadaan
seperti ini, anggota angkatan bersenjata dan polisi juga memilih. Mereka yang
bertugas di daerah rawan digilir datang ke tempat pemilihan. Pemilu akhirnya
pun berlangsung aman.
Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan
Konstituante. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi
Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil
golongan minoritas yang diangkat pemerintah. Pemilu ini dipersiapkan di bawah
pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo
mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah
dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap,
yaitu: Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini
diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai
politik dan individu. Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota
Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.
Pemilu pertama nasional di Indonesia ini dinilai berbagai
kalangan sebagai proses politik yang mendekati kriteria demokratis, sebab
selain jumlah parpol tidak dibatasi, berlangsung dengan langsung umum bebas
rahasia (luber), serta mencerminkan pluralisme dan representativness.
Fragmentasi politik yang kuat berdampak kepada ketidakefektifan kinerja
parlemen hasil pemilu 1955 dan pemerintahan yang dibentuknya. Parlemen baru ini
tidak mampu memberikan terobosan bagi pembentukan pemerintahan yang kuat dan
stabil, tetapi justru mengulangi kembali fenomena politik sebelumnya, yakni
“gonta-ganti” pemerintahan dalam waktu yang relatif pendek.
Ketidakefektifan kinerja parlemen memperkencang
serangan-serangan yang mendelegitimasi parlemen dan partai-partai politik pada
umumnya. Banyak kritikan dan kecaman muncul, bahkan tidak hanya dilontarkan
tokoh-tokoh “anti demokrasi”. Hatta dan Syahrir menuduh para politisi dan
pimpinan partai-partai politik sebagai orang yang memperjuangkan kepentingannya
sendiri dan keuntungan kelompoknya, bukan mengedepankan kepentingan rakyat.
Namun begitu, mereka tidak menjadikan demokrasi parlementer sebagai biang
keladi kebobrokan dan kemandegan politik. Hal ini berbeda dengan Soekarno yang
menempatkan demokrasi parlementer atau demokrasi liberal sebagai sasaran
tembak. Soekarno lebih mengkritik pada sistemnya.
Kebobrokan demokrasi liberal yang sedang diterapkan, dalam
penilaian Soekarno, merupakan penyebab utama kekisruhan politik. Maka, yang
paling mendesak untuk keluar dari krisis politik tersebut adalah “mengubur”
demokrasi liberal yang dalam pandangannya tidak cocok untuk dipraktikkan di
Indonesia. Akhirnya, Soekarno menyatakan demokrasi parlementer tidak dapat
digunakan untuk revolusi, “parliamentary democracy is not good for revolution”.
Pemilu 1955 tidak dilanjutkan sesuai jadwal pada lima tahun berikutnya, 1960.
Hal ini dikarenakan pada 5 Juli 1959, dikeluarkan Dekrit Presiden yang
membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945.
Di masa demokrasi liberal dengan bergonta-gantinya bentuk
kabinet, dikenal ada 7 kabinet yang pernah terbentuk, yaitu:
a.
Kabinet Natsir (7 September 1950-21 Maret 1951)
b.
Kabinet Soekiman (27 April 1951-23 Februari 1952)
c.
Kabinet Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953)
d.
Kabinet Ali Sastroamijoyo I ( 1 Agustus 1953-24 Juli 1955 )
e.
Kabinet Burhanudin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
f.
Kabinet Ali Sastroamijoyo II (24 Maret 1957)
g.
Kabinet Djuanda ( 9 April 1957-10 Juli 1959 )
artikel terkait :